Adakah orang yang berani melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di asa orde baru atau sebelumnya? Jawabannya pastilah tidak ada. Pada saat itu UUD 45 dianggap sudah sempurna dan tidak boleh diubah-ubah lagi. Namun, saat reformasi kondisinya berubah seratus delapan puluh derajat, dimana para anggota MPR RI hasil pemilu 1999 serta merta melakukan perombakan terhadap UUD 45 yang dianggap memiliki kelemahan serta kekurangan. Hal ini mempermudah terjadinya penyelewengan kekuasaan yang pada ujungnya menimbulkan praktek-praktek KKN.
Setelah mengalami empat kali perubahan dari tahun 1999 hingga 2002 hasil perubahan tersebut telah dikonsolidasikan dalam satu naskah. “ Dalam naskah ini terlihat bahwa jumlah-jumlah pasal yang diubah secara keseluruhan mencapai 300%. Dengan begitu yang terjadi bukan lagi amandemen, melainkan aleration/ penggantian konstitusi karena dilakukan secara tidak terang-terangan. Dimana tetap menggunakan penamaan UUD 45 tetapi naskah aslinya telah dihapuskan,” tandas Hardjono, S.H., M.H., M.Fil, penulis buku “ Legitimasi Perubahan Konstitusi, Kajian Terhadap Perubahan UUD 1945” saat membedah bukunya, Sabtu (20/6) di Wisma Kagama UGM.
Dengan demikian, lanjut Hardjono, MPR RI telah mengingkari kesepakatan antar fraksi yang mereka buat. Disamping hal tersebut, jika merujuk pada pasal 50 Tap MPR RI No. II/MPR/2000, perubahan UUD 45 hanya bisa dilakukan pada sidang umum majelis di awal masa jabatan, sebagaimana disebut dalam ayat (1) huruf b, dan tidak dapat dilakukan pada sidang tahunan majelis.
Dikatakan oleh pria yang lahir di Ambarawa pada awal kemerdekaan ini, perubahan UUD 45 tersebut berdampak sangat luas baik dalam sistematika UUD 45 maupun sistem ketatanegraan. “Perubahan itu telah memberlakukan sistem demokrasi konstitusional dengan pahan pluralisme yang nayat-nyata bertentangan dengan sistem demokrasi perwakilan berdasar musyawarah-mufakat yang merupakan refleksi dari filsafat negara Pancasila,” terangnya..
Dari aspek legitimasi sosiologis, perubahan UUD 45 ini pada pelaksanaannya terbukti dipaksakan, penggantian secara diam-diam, penuh rekayasa dan kebohongan. Rakyat menjadi apatis dalam m,enrima perubahan tersebut. Sikap tersebut bukan merupakan bentuk kepatuhan terhadap hukum, akan tetapi kepatuhan karena keterpaksaan. Dalam hal ini rakyat tidak pernah diberikan kesempatan menyatakan aspirasinya terlebih dahulu dicabutnya ketetapan MPR RI tentang referendum, sebelum MPR RI mengubah UUD 45. Dituturkan hardjono, “Perubahan UUD 45 yang dilakukan oleh MPR dari tahun 1999-2000, tidak memiliki legitimasi sosiologis,”. (Humas UGM/Ika)