Pola pemelihara ternak yang dikandangkan dan jauh dari hutan menyebabkan kerusakan hutan dan menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan karena mengakibatkan terpisahnya ternak dari lingkungannya yang alami. Sementara limbah dari industri peternakan yang menimbulkan beberapa permasalahan, seperti polusi, dapat memberikan banyak keuntungan apabila diintegrasikan ke dalam sistem agroforestry yakni sebuah sistem penggunaan lahan untuk mempertahankan atau meningkatkan hasil pertanian.
Atas dasar hal inilah Fakultas Peternakan UGM bekerjasama dengan International Community Research for Agroforestry (ICRAF) menyelenggarakan Workshop yang bertajuk “Animal and Agroforestry: Importance of Agroforestry in Developing Animal Production in Remote Area” pada hari Senin 9 Februari 2009.
Menurut Budi Guntoro, Ph.D, dosen jurusan Sosial Ekonomi fakultas Peternakan UGM, konsep agroforestri sudah ada sejak lama, namun seiring perkembangan zaman konsep ini pun berkembang menjadi lebih luas. Dahulu konsep ini sudah dapat dilihat dari cara nenek moyang kita dalam mengelola pekarangan, tegalan, maupun lingkungan.
“Untuk saat ini konsep agroforestri dihubungkan dengan segala hal yang terkait dengan apapun yang merupakan integrasi multisektoral khususnya dalam pengelolaan SDA” demikian di paparkan Budi saat mengawali workshop.
Berangkat dari hal inilah yang menjadi salah satu alasan diadakannya workshop, dengan tema “Animal and Agroforestry: Importance of Agroforestry in Developing Animal Production in Remote Area” dimana para pembicaranya berasal dari berbagai disiplin ilmu ,lanjut Budi, yang juga bertindak sebagai ketua panitia.
Workshop yang berlangsung di Ruang Sidang Besar Fakultas Peternakan UGM Senin (9/2) ini dibuka oleh dekan Fakultas Peternakan. Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara antara lain I Gede Suparta Budisatria, Ph.D dan Prof. Dr. Soemitro Padmowijoto dari Fakultas Peternakan UGM, Dr Budiadi dari Fakultas Kehutanan dan Krisdyatmiko, M.Si dari Research and Empowerment (IRE).
Ekosistem hutan alam merupakan ekosistem yang stabil, ekosistem inilah yang nantinya menjadi tujuan dalam konsep agroforestri. Diungkapkan oleh I Gede S B, Ph.D hutan merupakan sumber pakan yang sangat potensial, dan ternak sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan. Peran ternak berpotensi menurunkan perambah hutan (pencuri kayu) karena aktivitas masyarakat terkonsentrasi pada pengelolaan ternak. Sementara untuk menekan kerusakan hutan perlu diperhatikan tentang carrying capacity hutan, jenis ternak dan sistem pemeliharaan, jumlah ternak yang dipelihara, serta kearifan lokal.
Sementara itu Dr. Budiadi menuturkan bahwa dalam agroforestri terdapat variabel produktivitas yang secara ekonomis harus dipenuhi sehingga harapannya ternak yang dimasukkan dalam konsep agroforestri merupakan ternak yang komersial. Dalam pengembangannya pun harus memperhatikan beberapa hal.
”Pengembangan interaksi antara hutan dan ternak harus memperhatikan sistem cut and carry dan pemilihan tanaman pakan yang pas bagi ternak” papar salah satu pemateri workshop tersebut.
Perencanaan dan pengelolaan yang baik merupakan kunci pengembangan pertanian yang berkelanjutan. Konsep agroforestri harus operasional dan berkelanjutan.
Krisdyatmiko, M.Si. mengungkapkan bahwa terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan konsep agroforestri ini. “Pertama program harus menjadi gerakan masyarakat dan harus ada legitimasi dari pemerintah. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan hutan tersebut. Masyarakat hutan tidak akan merusak hutan jika hutan tersebut merupakan basis penghidupan mereka. Kedua masyarakat harus menjadi subyek perubahan, peran kampus sebagai pentransformasi ide dan gagasan sehingga program-program agroforestri sehingga mampu menjadi gerakan masyarakat”, tandasnya.