Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono, akan mempertahankan disertasi berjudul ‘Terorisme dalam Filsafat Analitika; Relevansinya dengan Ketahanan Nasional’ dalam ujian terbuka Program Doktor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (25/7) di Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana lantai V. Bertindak sebagai promotor dalam ujian tersebut adalah Prof. Kaelan, Prof. Lasiyo, dan Prof. Djoko Suryo. Selaku penguji, direncanakan akan hadir Prof. Dr. Syafii Maarif, Dr, Mukhtasar, dan Juwono Sudarsono.
Dalam disertasi setebal 400 halaman, Hendropriyono mengupas masalah terorisme yang terjadi di Indonesia dan dunia, yang dikaji melalui pendekatan analitik bahasa. ”Saya melakukan kajian dari filsafat bahasa. Bagaimana orang (teroris) itu ngomong, dari situ saya kita tahu apa yang dipikirkannya,” terangnya kepada wartawan, Jumat (24/7) malam, di Ruang Fortakgama UGM.
Diakuinya, masalah terorisme yang melanda dunia dan Indonesia sejak dirinya menjadi Kepala BIN hingga saat ini cukup menggelisahkan. Menurutnya, hingga kini tidak ada definisi jelas tentang arti terorisme. Dengan tidak adanya definisi jelas tersebut, sampai sekarang sulit mencari solusi yang tepat untuk memerangi terorisme.
”Kegelisahan itu yang kemudian saya bawa dalam ranah akademik dan selama lebih kurang 3,5 tahun akhirnya saya akan mempertahankannya dalam ujian terbuka besok (Sabtu ini),” katanya.
Dikatakan Hendro, berdasarkan fakta historis yang bisa direkamnya sejak menjadi Kepala BIN, ternyata terorisme itu sama dengan jimat yang dimiliki tokoh pewayangan Indonesia, Raden Narasoma, yaitu Candra Birawa. ”Jadi, ibarat pepatah, patah tumbuh hilang berganti, itulah terorisme. Begitu pula yang ada di Indonesia, terorisme itu timbul tenggelam karena yang kita atasi hanya kaki-kakinya, yang juga terdapat di seluruh dunia. Sementara otaknya, tidak ada di negeri ini,” jelasnya.
Oleh karena itu, Hendropriyono menyesalkan adanya pernyataan beberapa orang yang mengatakan intelijen kecolongan dalam kasus bom di Jakarta belum lama ini. Menurutnya, terorisme ada di seluruh dunia,. Dengan demikian, yang kecolongan itu sebenarnya seluruh dunia, bukan hanya Indonesia saja. ”Karena kita tidak mampu mendeteksi otaknya,” tambahnya. Jadi, lanjut Hendro, seharusnya pemerintah juga memiliki kerja sama untuk memerangi terorisme dengan berbagai negara di dunia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)