Yogya, KU
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro mengatakan pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan selama delapan tahun terakhir bersifat setengah hati. Menurut Laksono, kebijakan ‘setengah hati’ ini mengakibatkan perbedaan antardaerah, terutama konflik peran antara pusat dan daerah dan kegiatan yang tidak terurus.
”Selama 8 tahun ada tarik menarik pembahasan pusat yang cenderung sentralisasi, sementara daerah menginginkan desentralisasi sehingga kebijakan yang dibuat seolah setengah hati,” kata Laksono kepada wartawan di sela-sela kegiatan Forum Tahunan Desentralisasi Kesehatan ke-8 yang digelar di University Club (UC) UGM, Selasa (28/7). Dikatakannya bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan yang belum optimal menyebabkan munculnya daerah-daerah yang semakin miskin, sementara yang lain semakin kaya. ”Jika kebijakan yang sepenuh hati seharusnya ada koordinasi antara pusat dan daerah, sepakat dan sama-sama mau, dan ada semangat kebersamaan,” ujarnya.
Desentralisasi kesehatan mengalami kendala di sektor teknis akibat lemahnya kebijakan politik di daerah. Padahal, menurut Laksono, sektor kesehatan lebih banyak ke arah teknis. ”Kita bisa lihat sekarang, laporan data dari daerah tidak naik ke pusat secara benar, sementara pusat tidak menganalisisnya. Juga perpindahan petugas kesehatan antardaerah juga sangat sulit dilakukan,” tambahnya.
Laksono juga menyebutkan kebijakan kesehatan yang hingga saat ini masih tersentralisasi, antara lain, penanganan penyakit menular malaria dan kesehatan ibu dan anak. Adanya desentralisasi kesehatan pada awalnya dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan menjadikannya lebih baik, terutama untuk masyarakat daerah terpencil. Namun, problem penganggaran yang masih belum tepat dan data kesehatan yang masih tarik menarik antara pusat dan daerah menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal.
”Anggaran yang dibagi kepada daerah yang miskin dan sulit, akses seharusnya lebih besar daripada daerah yang sudah mapan. Ini pula yang terjadi dengan Jamkesmas, kelompok setengah miskin justru yang dapat gratis, padahal belanja rokok mereka sangat tinggi. Seharusnya bisa mereka membeli premi asuransi,” katanya.
Melalui forum tahunan ini, kata Laksono akan dilakukan pembahasan untuk mencari formula yang tepat guna memajukan kebijakan desentralisasi kesehatan berdasarkan standar pusat dan daerah. Beberapa di antaranya adalah tentang solusi di bidang manajemen rumah sakit dan penanganan penyakit menular serta pengaturan anggaran kesehatan bagi pusat, provinsi, dan kabupaten.
”Kebijakan politis mengenai teknis kesehatan tidak cukup karena Indonesia cukup luas, apalagi banyak daerah belum begitu siap untuk desentralisasi,” ujarnya.
Berbagai hal juga akan dicari pemecahannya dalam forum yang berlangsung selama tiga hari, 28-30 Juli, dengan melibatkan beberapa pakar kesehatan. Disebutkan Laksono, salah satu masalah yang juga menjadi perhatian ialah pengiriman dokter, terutama dokter spesialis dan dokter bedah ke daerah-daerah. Karena masih terdapat perbedaan yang sangat timpang akan kebutuhan dokter di daerah, sementara jumlah dokter masih sangat minim. Ia mencontohkan di Jakarta, perbandingan dokter spesialis 1:3.000, sedangkan daerah-daerah di luar Jawa 1:47 ribu. Dokter spesialis anak di DKI berjumlah 420 orang, sedangkan di Provinsi Bengkulu hanya 75 orang.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kata Laksono, peran perguruan tinggi sangat diperlukan dalam menjalankan misi kemanusiaan. Hal itu dilakukan dengan melibatkan 50 Fakultas Kedokteran perguruan tinggi di Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam wujud pemberian bantuan beasiswa. (Humas UGM/Gusti Grehenson)