Sistem usaha tani terpadu merupakan bentuk pelaksanaan sistem pertanian berkelanjutan di tingkat petani. Sistem ini sebenarnya telah lama dipraktikkan oleh masyarakat tani di Indonesia sebagai bentuk ekspresi usaha menghadapi tantangan lingkungan untuk bertahan hidup. Namun sayang, dalam pengembangannya masih dilakukan secara sepotong-sepotong, belum terintegrasi.
“Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sampai sekarang program pengembangan sistem pertanian berkelanjutan mengalami kemandegan hanya sampai di tingkat konsep. Sebenarnya masyarakat tani di Indonesia sudah cukup lama mendengar istilah pertanian berkelanjutan ini, tetapi praktik pelaksanaannya seperti apa tidak banyak yang mengetahuinya,” kata Prof. Dr. Ir. Djoko Prajitno, M.Sc., dalam pidatonya saat dikukuhkan pada jabatan Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, di Balai Senat UGM, Kamis (30/7).
Dalam pidato yang berjudul ”Sistem Usaha Tani Terpadu sebagai Model Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Tingkat Petani”, disampaikan oleh pria kelahiran Yogyakarta, 30 Maret 1948 ini bahwa sebenarnya sistem usaha tani terpadu bersifat multikomoditas. Sistem tersebut menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan sistem pertanaman tunggal/monocropping. Meskipun demikian, kombinasi komoditas yang diusahakan harus sesuai dengan kapabilitas, sumber daya, dan kebutuhan petani yang mengusahakannya. Selain itu, juga harus sesuai dengan berbagai faktor lingkungan ekonomi-sosial yang berada di sekitar petani.
Disebutkan oleh dosen yang menggeluti bidang budidaya pertanian ini, Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, merupakan salah satu contoh potret desa yang berhasil menuai manfaat dari penerapan sistem usaha tani terpadu. Masyarakat tani desa tersebut menerapkan sistem usaha tani terapdu jagung-sapi potong di lahan sawah. Sistem tersebut ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani sampai 40% dan efisiensi penggunaan hijauan makanan ternak hingga 405 kali lipat. Pada program itu, setiap 5 sapi potong dalam waktu 4 bulan menghasilkan 6,6 ton kotoran sapi yang bisa memenuhi kebutuhan pupuk organik bagi 1 ha tanaman jagung. Hanya saja, pada program ini gas metana yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara optimal.
Lebih lanjut dipaparkan oleh suami L.Y. Hendrayatun, B.Sc. dan ayah Dr. Ing. D. Hendra Amijaya, S.T., M.T. Serta F. Weni Tyaslitiani, S.Si., M.Y ini., meskipun usaha tani terpadu kelihatannya mampu menjadi inovasi teknologi yang atraktif, tetapi aspek manajemen yang dihadapi tidaklah mudah. Tidak hanya sekedar menambah satu dua komoditas untuk diusahakan, tetapi juga memperkenalkan suatu pendekatan sistem usaha tani baru yang membutuhkan satu set teknologi serta kemauan manajemennya.
“Paket teknologi yang bisa teradopsi dengan baik adalah yang muncul dari hasil pemikiran/penyesuaian para petani itu sendiri. Paket semacam ini biasanya memenuhi spesifikasi lokasi dan situasi, kondisi sosial ekonomi petani, serta sesuai dengan kemampuan manajemen dan sumber daya petani,” jelas pria yang tergabung dalam Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) ini. (Humas UGM/Ika)