Penasaran terhadap krisis yang belum berakhir, Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM menggelar seminar nasional bertajuk “Global Financial and Economic Crisis: Its Causes and Impacts on International Trade and Investment”. Seminar yang didukung oleh United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Center for World Trade Students (CWTS) UGM ini berlangsung di Hotel Melia Purosani Yogyakarta, Kamis (30/7).
Seminar dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM, Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D. dan menghadirkan pembicara Alessandro Nicita, Abhijit Das (UNCTAD); M. Hawin, S.H., L.L.M., Ph.D., Toni Prasetiantono, Ph.D. (UGM); dan Makarim Wibisono (Center for Educations and Training, Departement of Foreign Affairs). Prof. Dr. Masyhuri selaku Kepala PSPD UGM mengatakan seminar mendiskusikan keuangan global dan krisis ekonomi serta mencari sebab-sebab dan dampaknya terhadap perdagangan internasional.
Dijelaskan Masyhuri, banyak pihak cukup terkejut ketika krisis yang semestinya telah berakhir ternyata masih terus berlangsung hingga kini. Di beberapa negara, krisis masih terus mendera, termasuk di negara Paman Sam, AS.
Indonesia agak sedikit berbeda. Dampak yang dirasakan terlihat pada ekspor yang melambat, bahkan cenderung menurun. Meski begitu, kata Masyhuri, hal tersebut tidak terlalu buruk karena di tingkat pertumbuhan ekonomi di Asia, Indonesia dinilai masih positif. Mengapa demikian? Karena meskipun ekspor turun, tingkat konsumsi, investasi, dan program stimulus fiskal masih berjalan dengan baik, seperti program raskin, BLT, kredit untuk rakyat, juga PNPM Mandiri.
“Itu semua kan untuk menggenjot konsumsi dan investasi dan pemerintah sehingga hasil akhir masih cukup tinggi sehingga pertumbuhan ekonomi masih baik, tidak separah negara lain. Di Asia, yang paling parah kan Singapura dan Malaysia,” ujarnya.
Meski tengah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 4%, Indonesia diharapkan akan terus menaikkan tingkat pertumbuhan ini. Oleh karena itu, diharapkan muncul regulasi baru yang berdampak pada pengurangan ekonomi biaya tinggi. “Diharapkan dengan stimulus fiskal, regulasi, dan lain-lain akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ya, saat ini intinya bagaimana kita bisa memperkuat ekonomi domestik. Dengan ekonomi domestik kuat, maka tentu akan jauh lebih baik dan dampak dari krisis bisa berkurang,” katanya.
Masyhuri melihat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak dan itu merupakan potensi untuk menumbuhkan ekonomi domestik. Ditambahkannya bahwa stimulus fiskal dapat berperan dalam memperkuat ekonomi domestik. Di bidang pertanian, Indonesia hingga saat ini masih menjadi pengekspor bahan mentah CPO, biji cokelat, kopi, dan lain-lain. Sementara di sisi lain, Indonesia masih mengimpor barang jadi produk-produk pertanian.
“Mestinya kita bisa menumbuhkan industri semacam itu sehingga nilai tambah itu bisa kita nikmati di dalam negeri. Dengan begitu pertumbuhan ekonomi bisa tinggi, mampu menyerap tenaga kerja yang besar, dan bisa mengatasi kemiskinan. Itulah yang sesungguhnya ingin dicapai ekonomi Indonesia. Stimulus diberikan pada yang tepat dan semua akan bejalan dengan baik. Dengan begitu masalah ekonomi akan berkurang,” tuturnya panjang lebar. (Humas UGM)