Yogya, KU
Proses restrukturisasi organisasi Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kota Surabaya tidak banyak melibatkan publik. Dalam mendesain struktur organisasi yang baru, kelompok kerja (pokja) atau tim yang dibentuk bahkan tidak banyak melakukan dialog dengan stakeholders tentang isu-isu strategis pelayanan publik.
Demikian diungkapkan Drs. Ulung Pribadi, M.Si. dalan ujian terbuka promosi Doktor Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, di Sekolah Pascasarjana lantai V, Jumat (31/7). Dalam mempertahankan disertasi berjudul ‘Restrukturisasi Organisasi Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kota Surabaya 1999-2007’ di hadapan tim penguji yang dipimpin oleh Prof. Dr. Pratikno, lebih jauh Ulung menyebutkan karakteristik struktur organisasi di kedua daerah tersebut atas dasar empat pertimbangan utama.
Pertama, pembentukan unit-unit organisasi berupa urusan-urusan kewenangan pemerintahan yang ditugaskan oleh pusat kepada daerah dan bukan hasil analisis kebutuhan pelayanan publik bagi warga masyarakat. Kedua, pola koordinasi antarunit organisasi dilakukan secara vertikal, bukan multilateral. Ketiga, model struktur organisasi bersifat hirarkis dan piramidal, bukan networking. Keempat, besaran dan susunan organisasi semakin ramping.
”Temuan penelitian untuk kasus restrukturisasi organisasi di kedua daerah itu tidak dilakukan dalam paradigma warga, tetapi dilakukan dalam paradigma negara dan paradigma pasar,” kata Untung yang bekerja sebagai staf pengajar Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Dijelaskan Ulung, restrukturisasi organisasi pemerintah daerah (pemda) menghasilkan struktur organisasi yang tidak berkarakteristik jaringan (networking), tetapi campuran antara sifat ramping dengan hirarkis dan piramidal. Dengan peraturan perundangan dan sistem kerja serta aspek-aspek manajerial yang baru, diharapkan adanya pemerintah daerah yang menunjukkan orientasi kepada kepentingan publik. Namun, penyusunan struktur organisasi baru yang tidak bertumpu pada paradigma warga justru yang terbentuk dan tidak bersifat jaringan dengan stakeholders dalam masyarakat.
Dalam penelitiannya, Ulung menyebutkan aktor-aktor organisasi di kedua daerah tersebut hanya menindaklanjuti perintah-perintah dari pusat untuk perampingan organisasi. Masing-masing kepala daerah membentuk tim penataan kelembagaan. ”Tim ini lebih mempertimbangkan ketentuan dan aturan dari pemerintah pusat, kepentingan institusional birokrasi pemda, dan sangat kentara kepentingan jabatan bagi aparatur pemda,” jelas pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 10 Oktober 1965 ini.
Menurut Ulung, pemda seharusnya melakukan model restrukturisasi organisasi pemerintah daerah berbasis pelayanan publik. Dalam model ini, katanya, pemerintah pusat seharusnya mengeluarkan kebijakan penataan kembali organisasi pemda yang bersifat makro-strategis, tidak pada teknis operasional. Kemudian pemda dan DPRD mengadakan public hearing dengan melibatkan partisipasi aktif komponen-komponen dalam masyarakat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)