Salah satu isu penting yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual (HKI) dewasa ini adalah mengenai sejauh mana pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh masyarakat pribumi atau karya intelektual berdasarkan tradisi. Pengetahuan ini mencakup metode budi daya dan pengolahan tanaman, pengobatan, kesenian, serta resep makanan-minuman. Dituturkan oleh Prof. M. Hawin, S.H., L.L.M., Ph.D., dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UGM, di Balai Senat UGM, Senin (3/7), perlindungan terhadap pengetahuan tradisional penting karena merupakan sumber pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang dapat dikomersialkan. Bahkan, terdapat perkiraan bahwa nilai penjualan produk yang menggunakan pengetahuan tradisional berupa sumber genetik setiap tahun berkisar US$800 miliar. Selain itu, imbuhnya, sampai saat ini banyak pengetahuan tradisional yang telah dipakai oleh banyak peneliti sebagai titik awal penelitian mereka untuk mendapatkan paten.
Beberapa negara, terutama negara berkembang, secara sendiri-sendiri telah berupaya memberikan perlindungan pada pengetahuan tradisional . Salah satu misalnya, Panama. Negara tersebut telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi pengetahuan tradisional, antara lain, setiap pengguna pengetahuan tradisional harus mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh indigenous group yang memiliki ataupun memegang pengetahuan tradisional tersebut. Sementara itu, Peru juga mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan calon pemakai untuk memperoleh persetujuan dari komunitas yang mempunyai pengetahuan tradisional dan membuat perjanjian penggunaannya.
Walaupun pengetahuan tradisional telah disinggung dalam beberapa kesepakatan internasional, tetapi belum secara tegas dilindungi oleh forum internasional yang secara khusus mengatur HKI. “Demikian juga dengan peraturan HKI di Indonesia, belum secara tegas mengatur perlindungan pengetahuan tradisional. Oleh sebab itu, perlu ada perbaikan perlindungan dalam peraturan HKI di Indonesia, khususnya UU Paten 2001,” kata pria kelahiran Bantul, 26 Desember 1962 ini.
Disebutkan oleh dosen yang meraih gelar doktor di University of Queensland, Australia, dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia” bahwa dalam perbaikan UU tersebut perlu dipertegas perlindungan pengetahuan tradisional. Ia mencontohkan salah satunya dengan mensyaratkan penyebutan pengetahuan tradisional yang dipakai dalam penemuan yang dimohonkan paten dan meminta izin kepada pemegang pengetahuan tradisional. Dalam UU Paten harus ditegaskan bahwa pengetahuan tradisional merupakan prior art yang bisa mementahkan permohonan paten, bahkan dapat dipakai sebagai alasan untuk membatalkan paten.
Meskipun demikian, lanjut Hawin, perbaikan peraturan HKI di Indonesia tidak cukup tanpa didukung kesepakatan internasional. Hal itu disebabkan oleh adanya kemungkinan pengetahuan tradisional Indonesia dapat diambil oleh negara lain yang tidak mengakui pengetahuan tradisional negara lain. ”Oleh karena itu, Indonesia juga perlu aktif untuk mengikuti langkah negara-negara berkembang yang lain dalam mengusulkan perbaikan perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) agar secara tegas memberikan perlindungan pengetahuan tradisional,” kata suami Fatmiatun Yulian, S.Pd., dan bapak empat anak, Muhammmad Aufa Sabili, Asa Ahsana, Akvia Khiyara, dan Akna Mumtaza, ini. (Humas UGM/Ika)