Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis klasik yang dapat dijumpai hampir di seluruh dunia. Menurut data WHO, diketahui sekitar 300 juta orang menderita toxoplasmosis. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan berbagai jenis mamalia, termasuk hewan kesayangan serta satwa eksotik. Toxoplasmosis juga memiliki dampak ekonomis yang penting karena dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan fertilitas, termasuk abortus.
Hingga saat ini, toxoplasmosis masih banyak menjadi perhatian karena penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui sista di dalam daging, sayuran, dan buah-buahan, serta air yang tercemar oosista infektif. “Pada wanita hamil yang mengalami infeksi primer pada kehamilan trisemester pertama dapat mengakibatkan keguguran dan juga kelainan pada janin, seperti hidrosefalus, mikrosefalus, anesefalus, serta bisa mengakibatkan retardasi mental, retinokorioditis, dan kebutaan,” terang Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama dalam pidatonya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Pengukuhan dilaksanakan di Balai Senat UGM, Kamis (6/8). Ditambahkan oleh pria yang meraih gelar doktor di Institut fur Veterinar Biochemie, Ferei Universitaet Berlin pada tahun 1989 ini, toxoplasmosis dapat mengakibatkan cacat seumur hidup, kematian pada bayi, bahkan menjadi fatal bagi pengidap HIV. Gejala toxoplasmosis dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga akhirnya berkurang, Tanda-tandanya dapat berupa lesu, sakit kepala, nyeri otot-sendi, disertai demam.
Dalam pidato yang berjudul “Biologi Molekuler Toxoplasma dan Aplikasinya pada Penanggulangan Toxoplasma”, dituturkan Wayan bahwa penyakit ini terkadang kurang diperhatikan karena gejala klinis yang muncul mirip dengan penyakit lain, misalnya flu. Kecurigaan terhadap penyakit ini baru timbul jika gejala klinis diertai dengan pembesaran kelenjar limfe. Karena tingginya prevalensi penyakit ini di masyarakat, perlu dikembangkan berbagai upaya diagnosis dini dan pencegahan, baik pada manusia maupun hewan.
Berdasar data prevalensi toxoplasmosis, sebagian besar penduduk Indonesia pernah terinfeksi parasit toxoplasma gondii. Pemeriksaan antibodi pada donor darah di Jakarta memperlihatkan 60% di antaranya mengandung antibodi terhadap parasit tersebut. Penyebaran toxoplasmosis dapat disebabkan oleh pola hidup yang kurang higienis, seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dan makan daging setengah matang yang tanpa disadari mengandung sista.
Pemberian obat, seperti sulfonamide dan pyrimethamine, dapat membunuh toxoplasma pada stadium takizoit. Namun, pengobatan tersebut tidak efektif pada stadium bradizoit. “Selain itu, obat-obat tersebut bersifat toksik sehingga tidak disarankan untuk digunakan dalam jangka waktu lama,” jelas suami Dra. Heri Susilowati dan bapak dari anak, Listya Narulita, S.I.P. dan Harya Friendita ini.
Lebih lanjut disampaikannya bahwa pencegahan merupakan faktor utama dalam mengurangi prevalensi toxoplasmosis pada manusia. Untuk menghindari penularan toxoplasma melalui oosit infektif dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain, selalu menjaga kebersihan hewan kesayangan (kucing diketahui sebagai induk semang definitif toxoplasma), tidak memberikan daging mentah pada kucing piaraan, dan mencuci buah serta sayur sebelum dikonsumsi. Sementara itu, untuk mencegah penularan toxoplasma melalui sista dapat dilakukan dengan mencuci daging sebelum dimasak dan mengurangi mengonsumsi daging setengah matang.
Risiko toxoplasmosis individu sangat tergantung pada imunitas seseorang, bahkan sangat bervariasi sesuai dengan situasi. Salah satu misalnya adalah ibu hamil yang telah imun sebelum konsepsi, tidak mempunyai risiko toxoplasmosis terhadap fetus yang dikandung. Akan tetapi, beberapa individu yang immunocompromise berisiko bila terjadi reinfeksi toxoplasma. “Oleh sebab itu, pencegahan congenital toxoplasmosis dapat dicapai melalui promosi kesehatan dibanding dengan program screening antenatal,” tutur peraih British Council Research Awards ini. (Humas UGM/Ika)