Yogya, KU
Keberadaan pers sebagi pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, menurut pakar komunikasi UGM Drs Ana Nadhya Abrar MES tantangan terbesar pers sebagai elemen yang esensial dalam proses demokratisasi, banyak menghadapi hambatan dari pihak yang berusaha membatasi perubahan kearah itu.
“Justru hal ini memberikan beban berat bagi pers, karena dalam menjalankan fungsinya justru menjadikan pers sebagai target yang mudah diserang oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha membatasi demokratisasi,†ujar Drs Ana Nadhya Abrar dalam Seminar Internasional Komunikasi, Rethinking Press as the Fouth Estate; Reflection of the Press Practice in Southeast Asia, Kamis (13/12) Ruang seminar gedung Pascasarjana UGM.
Menurut Abrar, kekebabaan pers yang begitu impresif telah menyebabkan para jurnalis-jurnalis bebas untuk menyampaikan berita berdasarkan nilai-nilai yang mereka yakini. Bahkan, pemilik perusahaan pers pun tidak lagi harus patuh pada politik imperatif yang memberatkan seperti diterapkan oleh para korporatis-kororatis pemegang kekuasaan.
“Para pemilik perusahaan pers ini telah mencari cara rasional memenuhi kepentingan ekonomi mereka untuk menyokong sisi financial. Tapi obsesi ini tidak membelokkan mereka dalam menyatukan kewajiban-kewajiban moral serta kultural di era desentralisasi dan demokratisasi,†katanya.
Dikemukan oleh Abrar, di era demokratisasi salah satu syarat utama bagi pers untuk menjalankan fungsi-fungsinya, pers harus mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan serta respek dari pembacanya, dari para pengambil keputusan baik di ranah politik maupun ranah sosial serta dari masyarakat luas.
“Pers perlu mengembangkan perannya sebagai saluran informasi yang dapat dipercaya, memberikan analisis yang obyektif serta mendukung perbaikan dan demokratisasi,†tandasnya.
Pendapat senada juga disampaikan Susanto Pudjomartono, selaku mantan pemimpin redaksi surat kabar Jakarta Post dalam makalahnya. Mantan dubes rusia ini juga menyebutkkan gagasan pers sebagai pilar keempat demokrasi didasarkan atas ide bahwa fungsi media untuk menyalurkan kepentingan-kepantingan publik kepemerintah.
Namun demikian, pers juga tumbuh sebagai sebuah kesatuan bisnis, ada keprihatinan bahwa pers akan mengakompromikan prinsip-prnsip bermedia mereka demi menjaga kepentingan-kepentingan tertentu.
“Kepentingan ini berpengaruh dari pemilik media untuk memanipulasikan objektivtas serta ketidakberpihakan mereka demi kepentingan tertentu,†tegasnya.
Selain itu, Susanto juga menyoroti kemunculan teknologi baru yang bernama ‘blogging’ yang dapat mengancam atau bahkan membunuh pers sebagai pilar keempat demokrasi karena dalam blog, penulis dapat menyampaikan berita yang seterbuka mungkin. (Humas UGM/Gusti Grehenson)