Setiap tahun, konsumsi energi di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 7% seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, dan perkembangan industri. Komposisi pemakaian jenis energi di Indonesia terdiri atas minyak bumi 51,66%, gas alam 28,57%, batu bara 15,34%, tenaga air 3,11%, dan panas bumi 1,32%. Dari data tersebut terlihat bahwa minyak bumi masih mendominasi pemakaian jenis energi di Indonesia.
Menurut Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., lambat laun cadangan minyak bumi, gas alam, dan batu bara secara terus menerus akan menyusut karena laju penggunaan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan diversifikasi penggunaan energi guna menghemat pemakaian energi fosil dan demi memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan komposisi jenis energi di Indonesia pada tahun 2025 adalah batu bara 33%, gas alam 30%, minyak bumi 20%, dan energi terbarukan 17%. Termasuk dalam 17% ini ialah bahan bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomassa, nuklir, air, surya, dan angin sebesar 5%, serta batu bara yang dicairkan sebanyak 2%. “Di sini dapat dilihat bahwa hidrogen belum menjadi prioritas Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (11/8), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa hidrogen dengan lambang kimia H merupakan unsur paling sederhana dilihat dari segi susunan proton dan elektronnya. Satu atom hidrogen hanya memiliki satu proton dan satu elektron. Gas hidrogen merupakan molekul diatomik, setiap molekulnya tersusun atas 2 atom hidrogen, yang secara kimia dirumuskan dengan H2. “Hidrogen merupakan gas paling banyak terdapat di alam semesta dan keberadaannya di matahari diperkirakan mencapai 75% dari total massa matahari,” katanya.
Dalam pidato berjudul “Prospek dan Potensi Hidrogen sebagai Energi Terbarukan”, suami Ir. Nur Indrianti, M.T., D.Eng. ini memperkirakan hidrogen akan menjadi pemasok energi utama untuk pembangkit listrik dengan sel bahan bakar, sebagai bahan bakar mesin kendaraan, dan penggunaan-penggunaan lainnya di abad ke-21. Hal itu disebabkan oleh sifat hodrogen yang ramah lingkungan dan kemudahannya dikonversi menjadi energi. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sama sekali tidak memberi kontribusi terhadap efek rumah kaca, hujan asam, dan kerusakan lapisan ozon.
“Jadi, penggunaan bahan bakar hidrogen ini tidak berpengaruh pada kerusakan lingkungan, bahkan dalam penggunaannya sangat mendukung program Protokol Kyoto yang mengamanatkan agar industri mengurangi emisi gas rumah kaca dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil,” terang ayah dua anak, Aji Resindra Widya dan Dyah Ayu Permatasari, ini.
Menurutnya, penggunaan hidrogen dalam sel bahan bakar merupakan teknologi yang menjanjikan untuk pemenuhan listrik dan panas dalam berbagai keperluan. Kendaraan dengan teknologi sel bahan bakar hidrogen bahkan dinilai memiliki efisiensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan bermesin yang menggunakan bahan bakar bensin. “Teknologi ini sudah digunakan oleh beberapa produsen utama, yaitu BMW, American Honda Company, dan Toyota Motors. Tenaga untuk kendaraan-kendaraan ini disuplai dengan sel bahan bakar yang dikombinasikan dengan baterai hibrida logam nikel,” pungkas pria kelahiran Kebumen, 1 Juni 1960, yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia Fakultas Teknik UGM. (Humas UGM)