Sejarah perpolitikan elit di Riau pada umumnya diwarnai dengan persaingan kepentingan, terutama yang berkaitan dengan akses sumber daya alam (SDA) lokal. SDA yang berlimpah di daerah tersebut, antara lain, minyak bumi dan kelapa sawit. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas utama nonmigas di Riau akhirnya bahkan menjadi ajang perebutan aktor lokal. Mereka secara terus menerus bersaing dalam memengaruhi kebijakan publik mengenai isu perkebunan kelapa sawit di wilayah tersebut.
Demikian pernyataan Khairul Anwar dalam desertasi bertajuk “Dinamika Politik dan Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit di Riau Tahun 1999-2007”. “Studi ini memakai isu pergulatan politik mengenai kebijakan perkebunan kelapa sawit sebagai pintu masuk untuk memahami perpolitikan lokal di Riau,” katanya dalam ujian terbuka program doktor UGM, Rabu (12/8), di Ruang Seminar Fisipol UGM.
Staf pengajar Ilmu Pemerintahan Fisipol, Universitas Riau, ini menyampaikan bahwa disertasinya lebih menjelaskan upaya-upaya dalam mengeksplorasi dinamika politik tentang isu perkebunan sawit. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan dimensi politik berupa detail proses politik dalam menangkap masalah perubahan perpolitikan lokal di Riau pascareformasi.
Dikatakannya bahwa sebelum tahun 1999, para aktor birokrat pusat (lokal), partai politik berkolaborasi dengan pemilik modal dalam mengekplorasi sumber daya perkebunan sawit di Riau. Mereka menerapkan berbagai kebijakan pembangunan yang menguntungkan pihak pemilik modal besar, politisi, dan birokrat. “Misalnya dalam memperebutkan lahan, akses ke pembuat keputusan perizinan dengan preferensi politik pada perkebunan besar swasta atau negara. Sementara para tokoh lokal tidak bisa berbuat banyak, karena sistem politik Orba saat itu otoriter, yang tidak memungkinkan munculnya elit lokal independen,” jelasnya.
Sesudah tahun 1999, lanjut Khairul, perubahan perpolitikan lokal di Riau mengenai kebijakan kelapa sawit semakin dinamik. Hal itu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok lokal yang bersaing kepentingan. Mereka adalah para birokrat lokal, politisi, dan pengusaha perkebunan. Kelompok-kelompok lokal ini seolah-olah berinisiatif secara sendiri-sendiri dalam menangkap peluang sumber daya perkebunan. “Yang mereka perebutkan adalah kendali atas perkebunan sawit di Riau, baik milik swasta, negara, maupun milik rakyat,” ujarnya.
Khairul menyimpulkan jika pada masa sebelumnya kendali kebijakan berada di tangan pemerintah pusat, setelah reformasi menjadi terdesentralisasi ke pemda provinsi dan kabupaten, misalnya kendali IUP. Perubahan ini terjadi karena perubahan rezim yang telah memberikan kewenangan kepada gubernur dan bupati untuk membuat IUP. “Perubahan rezim nasional ini mendapat respon dari para elit lokal di Riau,” tutur pria kelahiran Siak Sri Indrapura, 7 Juli 1965 ini. (Humas UGM)