Yogya, KU
Pengamat politik UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A., berpendapat bahwa penanganan masalah terorisme saat ini agar lebih ke arah upaya kepolisian dan intelijen mengeliminasi perekrutan pelaku bom bunuh diri oleh para teroris. ”Kita harus tahu betul bagaimana cara merekrut para pelaku bom bunuh diri,” kata mantan Rektor UGM ini dalam Diskusi “Mengukur Keberhasilan Penanganan Teroris di Indonesia” yang digelar di Pusat Pengkajian Strategi Kebijakan (PPSK), Jumat (14/8).
Amal menilai pemerintah belum mempunyai kebijakan yang konkret dalam menekan pelaku bom bunuh diri. Pemerintah seharusnya lebih berkonsentrasi untuk mengetahui pola Noordin M. Top yang mampu merekrut banyak orang. Ia pun menyesalkan terbunuhnya Ibrohim di Temanggung. Menurutnya, aparat kepolisian seharusnya bisa menangkap Ibrohim dalam keadaan hidup. Dengan demikian, akan dapat diketahui informasi lebih banyak dari yang bersangkutan dalam merekrut ‘calon pengantin’. ”Seharusnya Ibrohim bisa ditangkap hidup-hidup untuk mengetahui cara ia merekrut pelaku bom bunuh diri,” tandasnya.
Seperti di Irak dan Afganistan, sangat mudah merekrut pelaku karena lebih ke arah permusuhan antar aliran agama. Di samping itu, di sana pengeboman dilakukan di keramaian. Berbeda dengan di Indonesia, ikatan agama di Indonesia tergolong masih kuat. Para pelaku teroris tidak akan melakukan pengeboman di tempat ramai dengan alasan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari sebagian masyarakat. ”Sebagian masyarakat masih memberi perlindungan pelaku teroris sehingga masih bisa bersembunyi, Jadi, tidak mungkin pengeboman dilakukan di keramaian,” jelasnya.
Ketua Dewan Pers ini juga mengkritisi pola pemberitaan yang berlebihan yang dilakukan oleh media dalam penangkapan tersangka teroris di Temanggung. Pemberitaan itu menyebabkan teroris, seperti Noordin M. Top, menjadi semakin merasa menjadi jagoan dalam meneror masyarakat. ”Noordin jadi setengah jagoan teror akibat lebih banyak diangkat oleh pers,” imbuhnya.
Terkait dengan penayangan eksklusif yang dilakukan oleh salah satu stasiun TV, menurut Amal memang tidak melanggar kode etik pers. Namun, hal itu sangat disayangkan karena hanya satu atau dua media yang boleh menayangkan langsung.
Sementara itu, dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol UGM, Dr. Erick Hiariej, menekankan terorisme bukanlah masalah bom, tetapi melancarkan serangan teror kepada masyarakat selama bertahun-tahun. ”Yang dicari pelaku adalah publisitas dari media,” katanya. Erick juga khawatir dengan pemberitaan di media. Ia berharap agar media jangan sampai dimanfaatkan teroris untuk meneror masyarakat.
Lebih lanjut dikatakannya, apabila pemerintah ingin serius melawan terorisme, tidak cukup dengan membuat kebijakan UU antiteror karena para teroris juga menggunakan kecanggihan teknologi. Para teroris bahkan mengikuti perkembangan penanganan teroris yang dilakukan oleh pemerintah.
Erick juga tidak yakin kepolisian akan segera menangkap Noordin dalam waktu dekat. ”Untuk mencari Noordin tidak mudah. Eropa dan Amerika untuk menangkap Osama bin Laden selama 8 tahun, juga tidak berhasil, padahal dengan alat yang lebih canggih lagi,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)