Senin(17/8), UGM melaksanakan upacara peringatan 64 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI. Upacara berlangsung di halaman Balairung, Kantor Pusat UGM, dipimpin oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., dan diikuti oleh pimpinan universitas dan fakultas, tenaga pendidik dan kependidikan, serta mahasiswa di lingkungan UGM.
Tema peringatan HUT RI kali ini adalah “Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Tingkatkan Kedewasaan Berpolitik dan Berdemokrasi, serta Percepatan Pemulihan Perekonomian Nasional menuju Indonesia yang Bersatu, Aman, Adil, Demokratis, dan Sejahtera”. Dengan tema yang disampaikan oleh Rektor saat membacakan sambutan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dikatakan bahwa sebaiknya warga Indonesia merenungkan kembali apakah bangsa ini sudah mampu meraih apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, seperti yang tertuang dalam UUD 1945, setelah 64 tahun memproklamasikan kemerdekaan.
“Dalam hal ini, cita-cita proklamasi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, terukir pada Trisakti Jiwa Proklamasi: ‘berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berjati diri dalam kebudayaan’ merupakan tantangan yang harus dijawab oleh segenap komponen bangsa” kata Gubernur DIY seperti dibacakan Rektor.
Peringatan ini hendaknya dijadikan sebagai momentum bagi seluruh komponen bangsa untuk berziarah pada nilai-nilai luhur yang menjadi driving force bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia. Nilai-nilai tersebutlah yang membentuk spirit kebangsaan. Namun, spirit itu rupanya mulai luntur bersamaan dengan pudarnya karakter dan jati diri yang menyatakan dirinya sebagai bangsa besar.
“Bangsa Indonesia harus bisa meraih, menggenggam, dan merevitalisasi spirit kebangsaan yang dulu menjadi senjata paling ampuh dalam melawan penjajah. Spirit itu yang di butuhkan bangsa ini agar eksis dalam pertarungan di era kompetisi dan dominasi kapitalisme global ini,” terangnya. Melalui proses kontemplasi kebangsaan, imbuh Rektor, kita dapat memetik pelajaran berharga bahwa dalam setiap perjuangan hanya semangat kebangsaanlah yang selalu menghantarkan bangsa ini ke arah kemajuan peradaban.
Sebagai produk dari kekuatan-kekuatan yang hidup dalam sejarah perjuangan bangsa, nilai-nilai kebangsaan secara dialektis selalu dihadapkan pada perubahan dan juga tantangan baru yang berkembang. Di era globalisasi ini, supaya kita bisa bertahan, spirit kebangsaan itu hendaknya diberikan muatan ruh baru yang harus menjadi tekad dan komitmen total seluruh bangsa.
Spirit kebangsaan yang menjiwai agenda juang bangsa Indonesia, bukan lagi diikrarkan dengan sumpah berani mati. Akan tetapi, dengan jiwa dan semangat baru yang dijadikan etos kerja untuk dapat meningkatkan kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi, serta mempercepat pemulihan perekonomian bangsa menuju Indonesia yang bersatu, aman, adil, demokratis, dan sejahtera guna mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan.
Lebih lanjut disampaikan bahwa reformasi yang telah berjalan sekian lama pun harus dimaknai kembali. Dimaknai tidak hanya dengan tafsir yang lebih konstruktif, tetapi juga dengan laku budaya yang mengakar. Bukan hanya pikiran, melainkan hati yang ditajamkan agar lebih peka menangkap sasmita sehingga rakyat negeri ini eling lan waspada dalam meningkatkan kadar kesadaran berbangsa.
Melalui laku kultural, bangsa ini dibentuk untuk melihat betapa reformasi bukan sekadar memperjuangkan kebebasan untuk bisa sebebas-bebasnya. Namun, menautkan kebebasan itu dengan kehati-hatian dan kewaspadaan supaya tata nilai dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat tidak begitu saja diporak-porandakan oleh budaya demokrasi yang kebablasan.
“Salah satu agenda yang mendesak adalah perlunya membangun counter culture, sebuah renaisans budaya kebangunan kembali kebudayaan guna membentuk kebudayaan Indonesia baru yang lebih bermutu dan unggul,” tambahnya.
Berdasar hal tersebut, di masa mendatang, memperhatikan pluralisme budaya yang kita miliki serta membangkitkan kembali identitas lokal merupakan keharusan startegis untuk kesatuan nasional Indoensia, terutama di era otonomi daerah saat ini. “Jadi, di satu sisi bangsa ini harus meningkatkan kemampuan secara kuantitatif maupun kualitatif di semua aspek kehidupan. Sementara itu, di sisi lain tetap mempertahankan jati diri serta mengangkat harkat serta martabat kemanusiaan Indonesia dalam tata pergaulan dunia,” tandas Sultan.
Ditegaskan kembali oleh Sultan di akhir sambutannya, kontemplasi warga Indonesia sebagai bangsa harus mampu merevitalisasi spirit nasionalisme yang mencetuskan kesadaran dan kearifan dalam menangkap peluang di tengah arus kapitalisme global. Di samping itu, harus juga sanggup memanfaatkan momentum reformasi nasional dan transformasi global. (Humas UGM/Ika).