Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M., mengkritisi beberapa putusan MA mengenai peninjauan kembali (PK) yang diajukan jaksa penuntut umum. Menurutnya, putusan yang menyangkut high-profile cases, secara jelas tampak inkosisten antara satu putusan dengan putusan lain. Hal inilah yang dituding menimbulkan kekacauan praktik penegakan hukum PK.
“Dalam satu kasus, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan jaksa penuntut umum, tapi di lain kesempatan ditolak,” katanya dalam seminar nasional “Mengembalikan Fungsi Lembaga Peninjauan Kembali Sesuai Ketentuan Undang-Undang”, Kamis (20/8), di Fakultas Hukum UGM.
Putusan MA yang menerima permohonan PK jaksa penuntut umum, berdasarkan tafsiran atas dasar paradigma baru, merupakan kebijakan yang konstitusional dan memenuhi tuntutan perubahan zaman. Namun, MA bukan pemegang kekuasaan kebijakan hukum dalam pembuat undang-undang. Konsekuensi tentang inkonsistensi yang timbul akibat kemandirian hakim di antara majelis hakim di MA yang melakukan penafsiran secara bebas terhadap norma hukum acara pidana secara ekstensif dan a contariro atas pasal 263 ayat 1 KUHP dikaitkan dengan tafsiran sistematis terhadap pasal 23 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, akan mengacaukan penerapan dan penegakan hukum. Hal tersebut akan sangat membahayakan kepastian hukum.
Dikatakannya, “Keadilan memang menuntut keseimbangan antara perlindungan hak perseorangan dengan hak masyarakat umum yang merupakan dasar yang sah memberikan jaksa penutut umum hak untuk mengajukan PK atas putusan pidana yang berkekuatan tetap”. Namun, pembuat undang-undang harus merumuskan kebijakan hukum baru terlebih dulu dengan mengubah undang-undang hukum acara pidana yang mengatur pengajuan PK terhadap putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus RI, Dr. Marwan Effendi, S.H. Dikatakannya bahwa jaksa tidak berhak mengusulkan peninjauan kembali terhadap putusan hakim dalam sebuah perkara. “Apabila seseorang telah diputuskan bebas dalam peradilan maka tidak diperlukan lagi PK, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana ataupun ahli warisnya, bukan jaksa,” ujarnya.
Jaksa harus diberikan hak untuk melakukan upaya hukum luar biasa PK dalam perkara pidana sebagai upaya penegakan hukum, keadilan, dan perlindungan kepentingan umum. Di samping hal tersebut, juga dibutuhkan adanya ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara limitatif hak jaksa untuk mengajukan upaya hukum luar biasa PK untuk menghindari timbulnya polemik.
“Produk legislasi yang mengatur tentang masalah peninjauan kembali harus disinkronkan supaya tidak menimbulkan multitafsir karena bersifat ambigu,” imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum UGM, mengatakan terdapat dua persoalan utama yang perlu dikritik terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum. Yang pertama, mengenai putusan bebas itu sendiri. Jika seseorang diputus bebas oleh pengadilan berarti perbuatan yang dituduhkan terhadapnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Terhadap putusan bebas ini tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, baik banding maupun kasasi, demi kepentingan hukum ataupun PK. Apabila putusan bebas yang dijatuhkan adalah semata-mata kekeliruan hakim, tidak sepantasnya kekeliruan hakim itu ditanggung oleh terdakwa yang diputuskan bebas.
Lebih lanjut dituturkan Eddy, permasalahan yang kedua tentang hakikat peninjauan kembali berdasar ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHP adalah hak terpidana/ahli warisnya jika terdapat bukti baru, adanya pertentangan antara pertimbangan dan putusan hakim, dan adanya kekhilafan yang nyata dari putusan hakim. Tidak disebutkannya jaksa dalam pasal ini sebagai pihak yang berhak mengajukan PK ini menimbulkan persepsi jaksa tidak dilarang untuk mengajukan PK.
“Hal tersebut keliru jika jaksa mengartikan bahwa dia berhak mengajukan PK sebab tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk melindungi kepentingan terpidana. Dengan begitu, upaya hukum PK yang dilakukan jaksa penuntut umum tidak bisa diterima dengan logika hukum yang sehat karena upaya yang dilakukan jaksa adalah untuk memperberat hukuman terpidana,” terangya. (Humas UGM/Ika)