Penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia telah direduksi maknanya menjadi “hukum” yang penegakannya dibatasi. Pembatasan dilakukan atas bagaimana menginterprestasi pasal-pasal dalam kitab perundang-undangan. Instrumen hukum HAM memang telah banyak mengadili pelaku-pelaku HAM di Indonesia dan memberikan setitik keadilan bagi korban. Namun, justifikasi atas pelanggaran HAM hanya dibaca dari ketersediaan aturan-aturan yang ada. Akibatnya, proses ini gagal dalam menginterpretasikan kandungan nilai-nilai HAM yang lebih luas dari sekadar pasal-pasal tertulis. Hal inilah yang menjadi penyebab kejumbuhan antara hukum biasa dengan hukum HAM. Terus berlangsungnya pemahaman dan praktik seperti ini menyebabkan berjaraknya atau tertinggalnya nilai-nilai universal kemanusiaan yang membentuk konsep HAM dari praktik penegakannya.
Di sisi lain, penegakan HAM di Indonesia sering direcoki oleh kepentingan-kepentingan ekonomi-politik jangka pendek. Upaya penegakan HAM melalui pembuatan instrumen-instrumen hukum yang gencar dilakukan selepas rezim Orde Baru dalam implementasinya terombang-ambing oleh kepentingan para aktor politik yang bernaung dalam lembaga-lembaga politik. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, seperti di daerah-daerah konflik, kerusuhan Mei 1998, hingga pembunuhan Munir, merupakan sederet kasus yang tidak terselesaikan karena kentalnya intervensi politik terhadap penegakan HAM.
Berbagai permasalahan tersebut menguak dalam diskusi bertajuk ”HAM dalam Perspektif Hukum dan Politik” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Diskusi yang merupakan hasil kerja sama PSKP dengan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) digelar Senin (31/8) di Ruang Seminar Fisipol UGM. Kegiatan diselenggarakan dalam rangka Pekan Hak Asasi Manusia 2009.
Dalam acara yang menghadirkan pembicara Drs. Dafri Agus Salim, M.A., staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol UGM, dan Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., staf pengajar Fakultas Hukum UGM, juga dibahas beberapa kasus pelanggaran HAM lain yang menimpa WNI dan terjadi di luar negeri. Berbagai pelanggaran yang terjadi di luar negeri tidak mendapat perhatian yang serius. Kalaupun ada respon yang diberikan oleh aktor-aktor dan lembaga-lembaga politik di Indonesia, itu hanya sekadar komoditas politik untuk kepentingan jangka pendek.
Dari kasus-kasus tersebut, dipaparkan di akhir diskusi, setidaknya ada dua persoalan mendasar yang patut untuk dicari jalan keluarnya. Pertama, lemahnya perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia. Kedua, adanya perbedaan dalam menginterprestasikan penegakan HAM dari perspektif hukum dan politik. (Humas UGM/Ika)