Kinerja pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.
“Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri. Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs Polri,” terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (7/9).
Disebutkan Zainal, selain adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. “Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar,” tambahnya.
Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.
Ditambahkan oleh Eddy O.S. Hiariej, staf pengajar FH UGM yang juga anggota Pukat, bahwa dari keseluruhan hal tersebut seolah-olah menjadi antitesis terkait dengan keseriusan pemerintah dalam mendukung gerakan anti korupsi. “Jargon-jargon yang selama ini diserukan tampaknya masih jauh dari implementasi,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)