Saat ini banyak ditemukan kasus pencurian terhadap pengetahuan tradisional yang dilakukan oleh beberapa negara maju terhadap negara-negara berkembang. Hal itu terjadi karena dalam perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPS) tidak diatur secara tegas mengenai perlindungan hukum atas pengetahuan tradisional. “Meskipun pengetahuan tradisional sudah disinggung dalam beberapa kesepakatan internasional, namun belum secara tegas dilindungi oleh forum internasional yang secara khusus melindungi hak kekayaan intelektual,” terang Prof. Dr. Hawin, L.L.M., Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Jumat (11/9), di Ruang Multimedia UGM.
Disebutkan oleh Prof. Hawin dalam diskusi yang bertajuk ”TRIPS Agreement: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan” bahwa belum adanya aturan tegas yang melindungi pengetahuan tradisional semakin membuka peluang bagi negara maju untuk mematenkan pengetahuan tradisional yang diambil dari negara berkembang.
Sebenarnya telah ada pasal dalam perjanjian TRIPS yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional. Pasal 27 ayat 3 b perjanjian tersebut memperbolehkan negara anggota WTO untuk mengecualikan diri dari yang dapat dipatenkan. Namun, ketentuan ini sangat lemah jika ditinjau dari perlindungannya terhadap pengetahuan tradisional karena menggunakan kata “may”. Ketentuan ini memberikan kebebasan kepada negara peserta untuk mengecualikan atau tidak.
Lebih lanjut dikatakan Prof. Hawin, banyak pihak yang mengusulkan agar diadakan perbaikan dalam pasal tersebut. Hal itu perlu dilakukan agar dapat diberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dan didapat penyeragaman negara peserta dalam mengimplementasikan ketentuan pasal tersebut. Perbaikan dilakukan dengan menjadikan aturan itu sebagai ketentuan wajib bagi semua anggota WTO, tetapi tetap dengan mempertahankan pengecualian-pengecualian yang tercantum di dalamnya.
“Tanpa adanya perbaikan, memungkinkan adanya ketidakseragaman perlakuan negara peserta terhadap aplikasi paten makhluk hidup di mana di suatu negara bisa dipatenkan, sementara di negara lain tidak bisa diberikan paten. Hal ini justru bersifat merugikan,” jelasnya.
Sementara itu, Poppy S. Winanti, M.P.P., M.Sc. dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM ini mengemukakan dengan adanya perjanjian TRIPS, mau tidak mau Indonesia diharuskan untuk mengeluarkan undang-undang baru dan mereformasi undang-undang HKI. (Humas UGM/Ika)