Konservasi sperma perlu dilakukan pada berbagai hewan langka di Indonesia. Konservasi dilakukan dengan cara menampung, memproses, dan menyimpan sperma di dalam nitrogen cair. Upaya itu dilaksanakan demi kelangsungan hidup hewan yang hampir punah sebagai sumber kekayaan alam Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Ir. Ismaya, M.Sc., Ph.D. dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar UGM, Senin (30/3) di Balai Senat UGM. Dalam pidato berjudul “Konservasi Spermatozoa: Perkembangan, Hasil, dan Potensi di Masa Mendatang”, Ismaya menganjurkan agar semua hewan langka yang mati segera diambil testisnya untuk dilakukan konservasi. Hal itu merupakan langkah cerdas untuk menyelamatkan spermatozoa yang ada dalam testis dan epididimis.
“Untuk melindungi sumber genetik masa mendatang, sangat penting dan harus segera dilakukan konservasi sperma potensial untuk pengembangan di bidang pertanian atau peternakan, bioteknologi reproduksi, konservasi spesies hewan langka, dan pengobatan klinik,” kata staf pengajar Fakultas Peternakan ini.
Dengan cara melakukan penyimpanan sperma berbagai spesies binatang buas dan langka akan terbentuk bank sperma. Bank sperma sangat bermanfaat demi kelangsungan hidup dan kelestarian binatang tersebut di masa mendatang. “Pertukaran sperma dari bank sperma untuk populasi hewan buas dan langka dapat meningkatkan aneka ragam genetik dan mengurangi risiko serta biaya,” jelas pria kelahiran Bantul, 10 Desember 1953 ini.
Saat ini diperkirakan ada 9.672 spesies burung di Indonesia. Sekitar 5 persen atau 503 spesies termasuk dalam kategori hewan hampir punah. Sejumlah 93 satwa terdapat di kebun binatang Pontianak, 51 di antaranya termasuk hewan sangat langka. Selain itu, banyak juga hewan mamalia yang hampir punah dan perlu dilestarikan, misalnya orang utan, harimau, gajah, buaya, dan beruang. “Keberadaan orang utan di Sumatra jumlahnya tidak lebih 7.000 ekor, sedangkan harimau di Sumatra tinggal 300 ekor,” jelas Ismaya.
Disebutkannya, ada dua bentuk penyimpanan sperma, yakni bentuk cair dan beku. Teknologi penyimpanan ini merupakan kombinasi antara suhu penyimpanan, komposisi bahan kimia pengencer, krioprotektan, dan kontrol kebersihan. Ismaya menuturkan, “Bahan pengencer yang ditambahkan, gliserol, pada proses pembekuan spermatozoa dalam nitrogen cair yang bersuhu minus 196 derajat celcius dapat mempertahankan fertilitas tidak lebih dari 50 tahun. Namun, daya hidup spermatozoa diperkirakan masih dapat mencapai lebih dari 3.000 tahun.”
Pembuatan sperma beku untuk hewan buas dilakukan dengan penerapan assisted reproduction techniques (ART). Inseminasi buatan, in vitro, dan intracytoplasmic microinjection untuk aplikasi ART dilakukan dalam konservasi sperma. “Kemajuan di dalam teknologi reproduksi dan pemahaman yang lebih baik terhadap fisiologi reproduksi hewan buas dan langka sangat diperlukan untuk aplikasi ART ini,” katanya.
Sementara itu, sperma beku yang diambil dari testis hewan mati dilakukan melalui teknologi kloning. Ia mengatakan di Jepang baru saja diumumkan keberhasilan mengkloning sapi legendaris dari negara itu, yaitu sapi huida-gyu.
“Empat ekor sapi hasil kloning yang dikembangkan itu berasal dari sel testis yang telah dibekukan selama 13 tahun sejak kematian, dari seekor sapi legendaris yang menjadi cikal bakal sapi huida-gyu,” kata Ismaya yang merupakan lulusan S3 James Cook University, Queensland, Australia.
Diakuinya, penyimpanan spermatozoa yang efisien dengan kemampuan membuahi merupakan kepentingan besar untuk konservasi. Tersedianya sperma beku unggul yang telah di-sexing dapat dikembangkan untuk meningkatkan populasi ternak unggul berdasarkan jenis kelamin yang dikehendaki pasar. (Humas UGM/Gusti Grehenson)