Sesungguhnya kita saat ini sedang belajar berdemokrasi. Sejak dari demokrasi liberal, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Semua berujung pada krisis politik.
Pun di era reformasi, kitapun memasuki sebuah demokrasi yang konon dikatakan sebagai “demokrasi tanpa embel-embelâ€. Hal itu terulang kembali.
“Demokrasi yang tanpa embel-embel inipun ternyata membuka pada sebuah situasi, dimana konflik itu tiba-tiba mencuat di berbagai wilayah,†ungkap staf ahli Menkominfo Bidang Sosial Budaya dan Peran Serta Masyarakat, Prof Dr Musya Asy’arie, Senin (17/12) saat menjadi keynote speech Diskusi Publik RUU KIP bertajuk Keterbukaan Informasi Publik Menuju Good Governance Dalam Rangka Negara Demokrasi di Fakultas Hukum UGM.
Sejatinya, kata Prof Musya, demokrasi membutuhkan tingkat kecerdasan yang cukup dan tingkat kesejahteraan yang memadai. “Dua hal inilah saya kira yang masih kurang di negara kita. Kita tahu, bahwa sumber daya manusia Indonesia sebagian tingkat pendidikannya masih rendah, apalagi ditambah tingkat pendapatan perkapita yang juga rendah,†ungkapnya .
Ditengah-tengah kemiskinan dan tingkat kecerdasan yang tidak memadai, belajar demokrasi tentu sangatlah besar resikonya. “Kalau kita lihat sebelumnya, era dimana kekuatan represif itu mengatas namakan demokrasi maka terasa bahwa pemerintah yang lama tidak banyak membuat undang-undang, karena dengan banyak membuat UU kekuasaan tentu dirasa akan berkurang,†tambah Prof Musya.
Oleh karena itu, ketika kekuasaan represif tumbang maka sering terlihat banyak ruang-ruang gelap tanpa UU. Kelangkaan UU menciptakan suasana anomali, dimana kekuatan massa, komunalisme dan premanisme seakan-akan telah mengambil kekuasaan.
“Sehingga menciptakan konflik kekerasan dimana-mana. Dalam situasi anomali, maka ada kecenderungan RUU dibuat tanpa realitas, sehingga ketika UU itu diimplementasikan konflik pun segera mencuat. Seperti konflik KPI dengan Depkominfo tentang UU Penyiaran, yang kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,†lanjut Prof Musya.
Oleh karena itu, dirinya memandang perlu diskusi semacam ini dilakukan dikampus-kampus. Dengan demikian dapat mendengar masukan dunia akademik , agar kita bisa membaca realitas dengan cerdas, karena realitas itu sesunguhnya selalu berubah dan bersifat multikomplek.
“Bahkan kalau kita salah, sudah barang tentu lahirnya UU tidak menyelesaikan masalah tapi justru menjadi masalah,†jelasnya.
UU KIP yang sedang dalam proses memang harus segera diwujudkan sebagai realisasi amanat UUD 1945, terutama pada pasal 28 f yang menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak memperoleh informasi. Sedangkan pada pasal 28 e menegaskan bahwa hak dan keebasan itu ada batasannya yang ditetapkan dengan UU. Artinya kebebasan informasi tidak mutlak dan harus berjalan secara profesional.
“Informasi seperti udara yang bisa masuk dan tidak bisa dimonopoli oleh siapapun. Tetapi sebagaimana udara yang diperlukan oleh setiap orang, maka lalu lintas informasi harus dijaga, agar udara itu tetap jernih sehingga kebebasan informasi pada akhirnya akan mencerdaskan kehidupan bangsa,†tandasnya.
Sehubungan dengan hal itu, anggota DPR RI Komisi I Drs H Arif Mudatsir Mandan MSi mengungkapkan proses pembahasan RUU Keterbukaan Informasi Publik masih menyisakan 368 dim terkait pasal-pasal dan ayat-ayat. Beberapa pasal krusial tersebut antara lain definisi keterbukaan informasi publik; beberapa pasal yang membutuhkan penjelasan; pengecualian terhadap beberapa pasal, terutama pasal-pasal yang mengarah pada rahasia negara, masalah persaingan di bidang ekonomi; sanksi-sanksi dan beberapa aturan teknis.
RUU KIP ini, kata Mudatsir, menjamin setiap warga negara memproleh informasi publik dari berbagai badan publik yang ada. Presiden, Departemen, DPR, DPD dan lembaga-lembaga di bidang yudikatif, nantinya akan menjadi badan publik terbuka untuk siapa saja.
Diskusi yang di buka Dekan Fakultas Hukum UGM Dr Marsudi Triatmodjo SH LLM menghadirkan sejumlah pembicara diantaranya Kepala Badan Pertmbangan Hukum Nasional Prof Dr Mohammad Ramli, pakar komunikasi Drs Ashadi Siregar dan Mohammad Sulkhan SIP MSi. (Humas UGM)