Sejarawan UGM, Adaby Darban, berpendapat bahwa tokoh sejarah harus dipelajari bersama meskipun diakuinya tidak ada satu pun tokoh yang sempurna. Hal tersebut penting untuk menjadi kajian wacana bagi generasi penerus.
“Dari tokoh sejarah tersebut, kita akan mengambil suatu hikmah, pemikiran, ide, apa yang dikerjakan, dan siasat mereka,” kata Adaby Darban dalam acara bedah buku “Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita!”, di gedung PAU UGM, Jumat (20/3).
Menurut Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini, generasi sekarang dapat meneladani tokoh sejarah terkait dengan pengalaman dan langkah-langkahnya dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Salah seorang pengurus National Press Club of Indonesia (NPCI) , Imelda Sari, mengatakan sejarah tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi. Sejarah semestinya menguak berbagai fakta yang selama ini disembunyikan dari publik. “Sejarah harus melihat dan mengungkap apa yang selama ini disembunyikan dan ditutupi,” ujarnya.
Ramadhan K.H. telah menulis salah satunya. Pengalaman tokoh Ibnu Sutowo selaku seorang militer pejuang kemerdekaan, dokter, dan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina diabadikan dalam buku setebal 536 halaman. Buku yang diterbitkan oleh NPCI ini dicetak Desember 2008 lalu. Imelda menilai, “Ramadhan menulis Ibnu dengan mengalir, menelaah pemikiran beliau, dari seorang mantan Dirut PT Pertamina, mantan pejuang, dan sekaligus seorang dokter.”
Dr. Anton Haryono, staf pengajar Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam kesempatan tersebut mengemukakan ketokohan Ibnu Sutowo sebagai penggagas sistem kontrak bagi hasil dalam industri perminyakan di Indonesia. Saat itu, upaya tersebut banyak ditentang. Tidak hanya dari koleganya, tetapi juga dari bangsa asing yang memiliki kepentingan menanamkan modalnya di tanah air.
“Ibnu Sutowo dan Pertaminanya dalam kontrak bagi hasil kemudian mengupayakan pula secara serius pengusahaan LNG yang pada awalnya mendapatkan cemoohan, tetapi terbukti berdaya guna besar,” imbuh Anton.
Ibnu Sutowo adalah putra kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, tahun 1914. Setelah lulus dokter dari Nederlandsch Indische Arsten School (NIAS) Surabaya pada 1940, ia mengabdikan diri sebagai dokter dan perwira tentara dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Semasa hidupnya sempat menjabat Dirut Pertamina sejak 1957 hingga 1976. (Humas UGM/Gusti Grehenson)