Sistem pertanian berkelanjutan merupakan isu hangat dalam bidang pertanian. Setelah setengah abad praktik budi daya konvensional, dampak buruk pun kini dirasakan, mulai dari dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya, hingga kesehatan masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut membuat masyarakat dunia semakin ragu akan keberlanjutan ekosistem pertanian dalam menopang kehidupan manusia di masa mendatang.
Demikian dikatakan Dekan Fakultas Pertanian UGM, Prof. Ir. Triwibowo Yuwono, Ph.D., menanggapi permasalahan pertanian berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Pernyataan tersebut disampaikan pada puncak acara Dies Natalis ke-63 Fakultas Pertanian (Faperta) yang digelar Senin (28/9). “Pendekatan pragmatis peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung memicu meningkatnya praktik pengurasan dan eksploitasi sumber daya alam secara terus menerus dalam skala besar sehingga semakin menurunkan daya dukung lingkungan pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian,” katanya.
Oleh karena itu, apabila kebijakan dan praktik pertanian yang dilakukan pemerintah dan petani masih bertumpu pada kebijakan dan praktik konvensional, hal itu akan semakin membahayakan masa depan petani, lingkungan pertanian, masyarakat, bangsa dan negara, serta dunia. “Kebijakan dan praktik pertanian konvensional harusnya diubah menjadi praktik pertanian berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan produk pertanian saat ini tanpa harus mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan produk pertanian dan pangan generasi mendatang,” tutur Dekan.
Dalam orasi ilmiah yang berjudul “Reorientasi Pendidikan Tinggi Pertanian dalam Konteks Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”, lebih lanjut dikatakan bahwa kegiatan pertanian berkaitan dengan banyak faktor yang berinteraksi secara sinergis. Selain faktor-faktor fisiokimia dan biologis, unsur penting lain yang berinteraksi di dalam sistem pertanian adalah petani sebagai pelaku produksi dan konsumen sebagai pengguna hasil-hasil kegiatan pertanian.
Sebagai pelaku produksi, petani memiliki peranan sentral dalam kegiatan usaha tani. Di lain pihak, konsumen saat ini semakin kritis dalam memilih produk-produk pertanian, terlebih lagi dengan berkembangnya kesadaran baru tentang keamanan pangan (food safety) dan pelestarian lingkungan. “Karenanya, interaksi antara perilaku dan tuntutan konsumen dengan perilaku dan kemampuan petani dalam menghasilkan produk pertanian inilah yang menarik untuk dicermati. Dalam tataran global saat ini, faktor tuntutan pasar dan sistem perdagangan dunia menyebabkan pelaku usaha tani berada dalam suatu pusaran besar yang tidak mudah diikuti,” lanjutnya.
Karena isu pertanian kini tidak lagi terbatas pada lingkup nasional, tetapi sangat terkait dengan isu-isu global, baik perdagangan maupun lingkungan, kurikulum pendidikan tinggi pertanian semestinya juga mengakomodasi berbagai macam isu yang terjadi. “Isu pertanian berkelanjutan sekarang menjadi sangat penting karena terkait isu lingkungan global dan tuntutan konsumen. Oleh karena itu, perlu diusulkan agar isu-isu global pertanian, seperti keberlanjutan sistem pertanian, perubahan cuaca global, kecenderungan perdagangan global, serta tuntutan konsumen yang lebih kritis diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kurikulum pendidikan tinggi pertanian,” ujar Dekan.
Di samping orasi ilmiah, dalam puncak Dies Natalis ke-63 Faperta ini disampaikan pula laporan tahunan Dekan dan pemberian penghargaan kepada mahasiswa dan petani teladan 2009. (Humas UGM)