• Berita
  • Arsip Berita
  • Simaster
  • Webmail
  • Direktori
  • Kabar UGM
  • Suara Bulaksumur
  •  Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
  • Pendidikan
    • Promosi Doktor
    • Pengukuhan Guru Besar
    • Wisuda
  • Prestasi
  • Penelitian dan Inovasi
    • Penelitian
    • PKM
    • Inovasi Teknologi
  • Seputar Kampus
    • Dies Natalis
    • Kerjasama
    • Kegiatan
    • Pengabdian
    • Kabar Fakultas
    • Kuliah Kerja Nyata
  • Liputan
  • Cek Fakta
  • Beranda
  • Liputan/Berita
  • Edia: Kurangi Pencemaran, Hidupkan Kembali Pewarna Alami

Edia: Kurangi Pencemaran, Hidupkan Kembali Pewarna Alami

  • 17 April 2013, 08:53 WIB
  • Oleh: Agung
  • 5723
Edia: Kurangi Pencemaran, Hidupkan Kembali Pewarna Alami

Tahukah Anda, jika dibalik keindahan dan kecantikan batik, industri batik ternyata menghasilkan dampak negatif berupa limbah yang merusak lingkungan? Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya. Bahan pewarna kimia pada batik tersebut tergolong tidak ramah lingkungan. Apabila limbah-limbah mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan tersebut tentu merusak ekosistem tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia.

Bahan-bahan yang bersifat karsinogenik pun jika masuk ke dalam tubuh bisa membahayakan kesehatan manusia. Disamping berbahaya bagi manusia, bahan pewarna naptol dan indigisol bisa mengakibatkan organisme dalam air akan mati. Hal itu disebabkan bahan pewarna tersebut dapat mengubah nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) dalam air. Kandungan oksigen (O2) yang notabene diperlukan organisme air akan menurun jika limbah pewarna masuk ke air.

Adalah Dr. Edia Rahayuningsih, pengajar pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada yang peduli permasalahan ini. Ia mengungkapkan meski bahan naptol telah dilarang digunakan sejak 1996, para perajin batik masih terus menggunakan pewarna tersebut lantaran murah, praktis, dan lebih cerah.

“Tapi, agar hasil pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, bahan pewarna sintetis itu mestinya harus diganti dengan pewarna dari alam. Karena di Indonesia terdapat bahan pewarna alternatif yang lebih aman dan tahan lama berasal dari tanaman indigofera”, katanya di Kampus UGM, Rabu (17/4).

Sebagai dosen dan peneliti, Edia Rahayuningsih sudah lama meneliti tanaman indigofera sebagai bahan pewarna pengganti naptol. Ia tahu sudah sejak lama tanaman indigofera terkenal sebagai pewarna indigo. Hasil penelitian yang ia lakukan menunjukkan marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru pada pewarna non-alami.

“Zat warna pada indigofera yang berupa serbuk dan diberi nama Gama Blue ND (Gadjah Mada Blue Natural Dye) itu bisa dihasilkan melalui teknik modern. Selain penggunaannya praktis, zat warna yang dihasilkan tanaman indigofera lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan zat warna yang diproduksi dengan cara-cara tradisional”, imbuhnya.

Kata Edia, warna biru dari serbuk yang dihasilkan memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa kadarnya hanya 15 persen. Apabila untuk mendapatkan warna dengan kecerahan sama, pewarna indigofera dari proses tradisional memerlukan 30 sampai 40 kali pencelupan, dengan proses yang dikembangkan Edia, hanya memerlukan 3 sampai 6 kali pencelupan. “Tentu saja, bagi para perajin batik, efisiensi proses ini tentu cukup berarti,” katanya.

Meski telah mengajak perajin batik kembali menggunakan pewarna alami, Edia mengakui bila harga pewarna alami masih tergolong mahal dibanding pewarna sintetis. Karena rendemen daun indigofera terbilang kecil, dari 250 kilogram daun basah yang diproses, hanya diperoleh 1 kilogram serbuk warna atau 0,4 persen.

Sehingga, tidak heran apabila harga pewarna alami menjadi tinggi atau berkisar 750 ribu rupiah per kilogramnya. Keuntungan para perajin pun lebih sedikit jika harus menggunakan pewarna dari tanaman indigofera. Sebaliknya perajin akan mendapat untung banyak bila mereka menggunakan pewarna naptol yang harganya hanya sekitar 50 ribu rupiah per kilogram.

“Dari segi harga, bahan pewarna alami tidak dapat bersaing. Namun, dari sisi kualitas, warna alami indigo lebih lembut dan tahan lama. Bagaimanapun hasil pewarnaan bahan sintetis lebih tajam, berbeda halnya dengan warna alami yang terlihat lembut, tetapi dari segi pamor secara keseluruhan warna alami jelas lebih cantik,” aku Edia.

Perempuan yang banyak meneliti tentang pencemaran inipun terus berharap agar semakin banyak petani menanam indigofera guna menekan harga. Karena itu, ia ia tak henti-henti melakukan sosialisasi dimana-mana. Sebagai hasilnya, kini telah banyak petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dan daerah lain bersedia menanam Indigofera karena mereka tahu besarnya keuntungan yang bisa diperoleh. (Humas UGM/ Agung)

Berita Terkait

  • UGM Kembangkan Pewarna Alami Tekstil dari Kayu Merbau Papua

    Tuesday,22 February 2022 - 21:13
  • Menghidupkan Kembali Pewarna Alami Nusantara

    Wednesday,11 May 2022 - 8:40
  • INDI, Pusat Unggulan Inovasi Pewarna Alami Indonesia

    Wednesday,11 December 2019 - 10:27
  • Workshop dan Pameran Batik Berbahan Pewarna Alami

    Wednesday,11 July 2012 - 11:45
  • Fakultas Biologi UGM Kenalkan Teknik Pewarna Alami ke Masyarakat Sleman

    Thursday,29 November 2018 - 9:54

Rilis Berita

  • Terancam Punah, Yayasan KEHATI, OIC, dan The Body Shop Gelar Roadshow Peduli Orangutan di UGM 26 March 2023
    Awal bulan Novermber 2017 lalu, peneliti menemukan spesies baru orangutan di Sumatera U
    Satria
  • Penulis UGM Raih Gelar Penulis Terproduktif Kedua Versi The Conversation 25 March 2023
    Penulis The Conversation Universitas Gadjah Mada berhasil mendapatkan predikat penulis
    Satria
  • Mengenali Dampak Penggunaan Obat Pada Kulit 24 March 2023
    Meningkatnya penggunaan obat-obatan, baik karena pengobatan sendiri (self-medication), polifarmas
    Ika
  • Tim Magister Kenotariatan FH UGM Juara 2 PNF 2023 24 March 2023
    Tim Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada memperoleh juara 2 pada Padjadja
    Agung
  • Fenomena Cuaca Ekstrem di Indonesia Cenderung Meningkat 24 March 2023
    Dosen Laboratorium Hidrologi dan Klimatologi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, Dr. Andung Bayu S
    Gusti

Agenda

  • 02Jul Dies Natalis MM UGM...
Universitas Gadjah Mada
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Bulaksumur Yogyakarta 55281
   info@ugm.ac.id
   +62 (274) 6492599
   +62 (274) 565223
   +62 811 2869 988

Kerja Sama

  • Kerja Sama Dalam Negeri
  • Alumni
  • Urusan Internasional

TENTANG UGM

  • Sambutan Rektor
  • Sejarah
  • Visi dan Misi
  • Pimpinan Universitas
  • Manajemen

MENGUNJUNGI UGM

  • Peta Kampus
  • Agenda

PENDAFTARAN

  • Sarjana
  • Pascasarjana
  • Diploma
  • Profesi
  • Internasional

© 2023 Universitas Gadjah Mada

Aturan PenggunaanKontakPanduan Identitas Visual