Sebagai negara dengan penduduk besar dan wilayah yang sangat luas, ketahanan pangan menjadi agenda penting dalam pembangunan nasional. Kejadian rawan pangan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial politik Indonesia.
Oleh karena itu, mewujudkan ketahanan pangan nasional, wilayah, rumah tangga, dan individu berbasis kemandirian penyediaan pangan domestik menjadi cita-cita yang diidamkan. Dengan menyadari pentingnya perwujudan ketahanan pangan di tingkat bawah tersebut, perlu kiranya dilakukan pencermatan lebih dalam terhadap masalah mikro ketahanan pangan sebagai bagian pengembangan secara nasional.
Demikian intisari seminar bertajuk “Pemodelan Desa Mandiri Pangan” yang diselenggarakan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Selasa (6/10). Seminar yang mengupas detail hasil penelitian tentang kajian pemodelan desa mandiri pangan di DIY ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc., Direktur InProSuLa, P. Sarijo, dan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY, Ir. Asikin Chalifah.
Prof. Maksum sebagai salah satu peneliti menyatakan Desa Mandiri Pangan (DMP) adalah desa yang memiliki kemampuan menjamin kebutuhan pangan rumah tangga di desanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki tanpa ada tekanan dan ketergantungan. Desa ini masyarakatnya memiliki kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi dengan memanfaatkan sumber daya setempat secara berkelanjutan.
Dari kajian di desa pesisir di Palihan, Temon, Kulon Progo, desa sawah di Gadingsari, Sanden, Bantul, desa dataran tinggi di Wukirsari, Cangkringan, Sleman, desa hutan di Girisuko, Panggang, Gunung Kidul, dan desa lahan kering di Giripanggung, Tepus, Gunung Kidul, disimpulkan bahwa tipologi desa-desa sampel menunjukkan dengan tegas pentingnya pendekatan demand-supply sides dan tidak lagi menggunakan pendekatan supply-based seperti selama ini. “Dalam telaah internal, maka peluang untuk membangun kekuatan pada dua sisi ini memiliki kontribusi yang sangat menjanjikan bagi penguatan sistem ketahanan pangan setempat,” ujarnya.
Disimpulkan pula bahwa watak penguatan yang diperlukan sangat beragam dari desa ke desa. Keragaman ini terutama berkaitan dengan karakteristik dasar desa yang bersangkutan, sebagai food exporting, food importing, atau gabungan keduanya. “Oleh karenanya, kejelian untuk melihat karakteristik ini sangat menentukan mutu pemberdayaan yang harus dilakukan,” tutur Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini. (Humas UGM)