Yogya, KU
Tiga plt. pimpinan KPK yang diusulkan oleh Tim 5 dan disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai cacat secara yuridis dan terpilih secara instan. Oleh karena itu, untuk menepis keraguan dan kekhawatiran publik atas kinerja ke depan, mereka dituntut menunjukkan hasil kerja yang lebih cepat dalam pemberantasan korupsi.
“Mereka terpilih dengan proses yang instan, seharusnya kerja yang dihasilkan juga instan. Kenapa ini harus dikejar, menepis kecurigaan publik, terkait indepedensi KPK,” kata Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi, Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M., kepada wartawan usai mengisi seminar internasional “Strategies for Eradicating Corruption after the Implementation of UNCAC”, Selasa (6/10), di Auditorium BRI, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Zainal menolak mengomentari lebih jauh tentang kemungkinan hasil kinerja ketiga plt. pimpinan KPK yang baru karena menurutnya lebih bersifat personal. Apalagi sebelumnya ia secara terang-terangan menolak adanya perpu dan keberadaan Tim 5. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki alasan kuat untuk mengeluarkan perpu, apalagi dua orang pimpinan aktif KPK tidak menyebabkan situasi darurat di lembaga tersebut. “Pasca masuk tiga orang ini, publik akan meragukan independensi KPK. Karena cacat yuridis, cara menjawab dengan kerja memberi kemanfaatan sehingga kasus korupsi ada kejelasan,” tuturnya.
Meski demikian, Zainal berharap masuknya ketiga orang ini harus sesegera mungkin mengusut tuntas kasus Century, Agus Condro, dan penyalahgunaan wewenang Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duadji. “Kasus ini harus masuk jalan tol untuk segera diselesaikan,” tandasnya.
Sementara itu, ahli hukum pidana Fakultas Hukum UGM, Dr. Eddy O.S. Hiariej, mengemukakan penanganan kasus korupsi oleh KPK ke depan seharusnya lebih menyatukan fungsi penyidikan dan penuntutan guna lebih menjamin efisiensi dan efektifitas. Hal ini sesuai dengan karakter hukum acara yang bersifat cepat, sederhana, dan biaya murah. Selain itu, penting terdapat pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan antara polisi dan jaksa yang sering kali memperlihatkan ego sektoral masing-masing institusi. “Dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian yang bekerja sekarang ini, jangan berharap pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan baik,” katanya.
Disinggung pula oleh Eddy, pemerintah dan DPR telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dengan UU nomor 7 tahun 2006. Semua kewajiban yang diatur dalam konvensi tersebut harus ditaati oleh semua negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 konvensi tersebut, diisyaratkan adanya badan khusus untuk menangani korupsi. “Dalam konteks Indonesia, KPK adalah lembaga yang tepat,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)