Yogya, KU
Hasil penelitian Tim Studi Gempa dan Longsor Teknik Geologi UGM merekomendasikan perlunya dibuat sebuah pemetaan zona potensi bahaya gempa dan longsor di Sumatera Barat (Sumbar). Hal ini dirasakan sangat membantu dalam penyelamatan korban secara lebih awal dan menunjang penyempurnaan tata ruang serta pengembangan wilayah pada proses rekonstruksi ke depan.
“Peta bahaya gempa dan longsor diperlukan sebagai arahan penyempurnaan tata ruang dan peraturan pendirian bangunan di tahap rekonstruksi, seperti halnya yang pernah dilakukan di wilayah Provinsi DIY dan Kabupaten Bantul,” ujar Ketua Tim Studi Gempa dan Longsor Teknik Geologi UGM, Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, Kamis (8/10), di Ruang Stana Parahita, Kantor Pusat UGM.
Menurut Dwikorita, yang tak kalah penting dari hasil pengamatan tentang kondisi geologi pasca gempa di wilayah Kota Padang, Pariaman, Padang Panjang hingga Solok ialah kemungkinan luncuran longsor susulan masih berpotensi terjadi jika dipicu oleh hujan deras ataupun gempa susulan. Pengamatan juga dilakukan untuk mengkaji kondisi geologi yang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan bangunan dan longsoran akibat gempa bumi. Dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, diketahui bahwa wilayah yang terkena dampak gempa bumi di Sumbar pada 30 September lalu dapat dibedakan menjadi dua wilayah utama, yakni dataran aluvial dan wilayah pebukitan keras.
Dataran aluvial mencakup Kota Padang hingga Kota Pariaman, yang mengalami banyak kerusakan bangunan akibat goncangan gempa. Wilayah ini tersusun oleh endapan yang bersifat lepas berupa lempung, lempung pasiran, dan pasir kerikilan karena sifat lepas pada butiran tanah penyusun dataran aluvial tersebut. Saat terjadi gempa bumi, getaran gelombang gempa mengalami komplikasi menjadi rambatan permukaan yang bersifat mengayun, baik ke arah vertikal maupun horisontal, yang akhirnya mengakibatkan kerusakan dan robohnya bangunan.
“Sebagian besar bangunan yang roboh atau miring cenderung mengarah ke arah barat laut-tenggara, yaitu mengarah ke arah episenter gempa yang berada di posisi relatif barat laut Kota Padang,” katanya.
Berbeda dengan dampak gempa di Yogyakarta, kata Dwikorita, kerusakan yang terjadi pada dataran aluvial di Padang tidak menunjukkan sebaran pola tertentu yang dikontrol oleh kondisi tanah atau kondisi geologi, justru tampak lebih dikontrol oleh kondisi konstruksi bangunan.
Sementara itu, wilayah pebukitan keras, yang meliputi areal Perbukitan Barisan dari Padang Panjang hingga Solok, banyak mengalami longsor akibat gempa bumi. Menurut Dwikorita, perbukitan tersebut tersusun oleh batuan beku vulkanik dan batuan metamorf merupakan perbukitan yang terbentuk oleh patahan aktif yang dikenal dengan nama sesar semangko.
“Di dalam zona patahan tersebut batuan penyusun perbukitan ini juga terpotong-potong oleh retakan-retakan batuan dan bersifat rapuh. Akibatnya, saat diguncang oleh gempa bumi, banyak terjadi runtuhan, jatuhan, dan luncuran batuan pada lereng perbukitan Barisan, terutama yang dilalui oleh jalur patahan,” jelasnya.
Beberapa titik longsor tanah yang terjadi telah menimbun lebih dari 100 orang di dua dusun, yaitu Dusun Kapalo Koto dan Lubuk Lawe di Desa Cumanak, Nagari Tandikek, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Lereng batuan yang longsor merupakan lereng yang diperkirakan berada di jalur patahan. Kemiringan lereng berkisar antara 30 sampai 40 derajat.
“Kondisi tanah di zona patahan tersebut sangat rapuh dan masih berpotensi untuk longsor lagi apabila diguncang gempa atau terguyur oleh hujan deras sehingga zona ini disarankan untuk ditutup selama hujan untuk menghindari terjadinya korban jiwa apabila gempa susulan ataupun longsor susulan terjadi,” usulnya.
Lokasi longsor lainnya yang perlu diwaspadai, lanjut Dwikorita, adalah di tebing ruas jalan Malalak menuju ke Bukit Tinggi, yang tersusun oleh batuan beku andesit dan terutup oleh batuan vulkanik berupa tuf pumisan, yang telah lapuk menjadi tanah lempung pasiran yang bersifat sangat porus dan lolos air. Kemiringan lereng tebing ini berkisar antara 40o hingga 60o. Akibat curamnya lereng dan rapuhnya kondisi tanah, saat gempa terjadi, luncuran tanah dengan bongkah-bongkah batuan terjadi. Zona yang mengalami luncuran tanah mencapai sepanjang 2 km. Luncuran tersebut juga telah mengakibatkan sebagian ruas jalan tertutup. (Humas UGM/Gusti Grehenson)