Keberadaan ruang publik (public space) berbagai kota di Indonesia semakin lama semakin langka. Ruang publik semakin tergusur dengan derasnya pembangunan seperti munculnya hotel-hotel berbintang hingga fenomena gelandangan dan pengemis. Akibatnya, ruang publik lambat laun semakin menjadi barang langka.
Berangkat dari persoalan itulah maka Keluarga Mahasiswa Teknik Arsitektur UGM menggelar Wiswakharman Expo 2013 dengan mengangkat tema Ruang Empati. Acara yang berlangsung 24-26 Mei ini diadakan di Museum Beteng Vredeburg. Koordinator acara Margaretha Liliana menuturkan persoalan ruang publik sangat penting sebagai bagian yang ikut mempengaruhi identitas suatu kota.
“Arsitektur bisa masuk disini untuk berperan dalam persoalan ruang publik,”tutur Margaretha, Minggu (26/5).
Persoalan minimnya ruang publik terjadi pula di Yogyakarta. Identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota budaya dengan biaya hidup murah terancam identitasnya dengan maraknya pembangunan hotel berbintang. Ketakutan pun muncul apabila Yogyakarta kemudian menjadi kota komersiil seperti halnya Jakarta atau Surabaya.
“Sebagai mahasiswa kita takut melihat identitas Yogyakarta kian terpinggirkan dengan banyaknya hotel-hotel yang dibangun,”imbuh mahasiswa angkatan 2010 ini.
Untuk itulah pada Wiswakharman Expo 2013 ini mereka mengangkat persoalan ruang publik. Arsitektur diangkat sebagai media sosial untuk berempati atas persoalan itu. Selain menampilkan poster, foto mereka juga menggelar talkshow tentang ruang empati untuk Yogyakarta. Berbagai topik mereka angkat mulai dari isu pedestrian, kaki lima, kesenjangan sosial, sungai hingga mbah-mbah gendong Beringharjo. Kegiatan ini juga didukung oleh banyak komunitas seperti Kota untuk Manusia, Sanggar Anak Kampung Indonesia, Deaf Art Community, dan Save Indonesia (Humas UGM/Satria AN)