Pengembangan lahan gambut (PLG) menyebabkan terjadinya degradasi hutan rawa di Provinsi Kalimantan Tengah. Degradasi akibat PLG pada tahun 1991-1997 mencapai sebesar 1,9% per tahun. Angka ini meningkat pada tahun 1997-2000 menjadi 6,5% per tahun.
Jika diperhatikan secara seksama, degradasi hutan di Kalimantan Tengah hingga kini masih berlanjut. Hal tersebut disebabkan masih belum maksimalnya upaya pengelolaan hutan yang mampu mengadaptasi kepentingan semua pihak sehingga kebakaran hutan dan lahan gambut tidak terjadi lagi.
Menurut Ir. Raden Mas Sukarna, M.Si., salah satu upaya untuk mendukung pengelolaan hutan rawa secara maksimal adalah tersedianya sumber informasi yang memadai tentang kondisi faktual hutan, seperti struktur hutan dan kondisi floristiknya. Informasi tersebut seyogianya dapat disediakan dengan biaya yang relatif murah dan mudah dalam aplikasinya. Informasi kondisi hutan alam, seperti hutan rawa, yang diperoleh melalui transformasi NDVI Citra Landsat, SPOT-4 dan sejenisnya, dalam pengamatannya belum mampu menggambarkan secara maksimal kondisi struktur hutan dan distribusi floristiknya.
Di lain pihak, kegiatan inventarisasi hutan alam secara teristrial praktis hampir tidak dilakukan lagi karena persoalan biaya, waktu, dan tenaga. “Kondisi seperti ini menjadi masalah yang serius karena di lain pihak perkembangan dan perubahan hutan berlangsung relatif cepat,” jelasnya, Sabtu (10/10).
Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya (Unpar), ini menyampaikan hal tersebut dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM. Di hadapan tim penguji, promovendus mempertahankan disertasi berjudul “Kajian Spektral Citra Landsat 7 ETM+ untuk Pemodelan Floristik Hutan Rawa di Kawasan Taman Nasional Sebangau, Provinsi Kalimantan Tengah”. Bertindak selaku promotor adalah Dr. Hartono, D.E.S.S., D.E.A., sedangkan ko-promotor Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon dan Prof. Dr. Dulbahri.
Dikatakannya bahwa melalui Forest Canopy Density (FCD) Citra Landsat 7 ETM+ yang memadukan indeks vegetasi (vegetation index), indeks tanah (baresoil index), indeks bayangan tajuk (shadow index), dan indeks temperatur (temperature index), yang terintegrasi dengan satuan bentuk lahan belum mampu menghasilkan variasi struktur hutan dan pola distribusi floristik pada masing-masing satuan bentang lahan. Model inventarisasi hutan rawa seperti ini tentu sangat membantu upaya perbaikan model pengelolaan hutan alam, khususnya pada hutan rawa.
Pada masing-masing satuan lahan dapat diketahui struktur vegetasi dan distribusi jenis vegetasi dominan. Pemahaman yang baik tentang distribusi floristik tentu harus dicermati dengan berbagai perbaikan sistem pengelolaan hutan rawa, terutama pada aspek rekayasa silvikultur. Hal itu memungkinkan untuk mempercepat pemulihan dan rehabilitasi kawasan hutan rawa yang mengalami kerusakan parah dengan perkembangan yang disklimak.
Pria kelahiran Tanjung (Jakung), 27 Juli 1962, yang juga alumnus S2 Program Studi Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM ini menemukan pola distribusi struktur hutan rawa tidak dapat dilakukan secara efektif bila hanya menggunakan citra komposit. Hal itu disebabkan informasi yang diberikan sangat umum. Demikian pula dengan aplikasi citra indeks kerapatan vegetasi. Aplikasi ini masih memiliki banyak kelemahan untuk menentukan struktur hutan karena nilai kerapatan penutupan rumput, semak, dan belukar muda yang rapat memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan penutupan hutan dengan pohon-pohon yang rapat. “Perlu dilakukan perbaikan dengan mengintegrasikan indeks bayangan tajuk (SI) dan indeks teperatur (TI),” ujarnya. (Humas UGM)