Yogya, KU
Duta Besar (Dubes) Suriname untuk Indonesia, Mrs. Angelic Alihuzain del Castilho, mengaku terkesan saat berpartisipasi dalam Festival Pendidikan dan Budaya Internasional, terutama bagi mahasiswa Suriname yang sedang menempuh studi di UGM. Kegiatan itu juga memberikan peluang bagi mahasiswa UGM untuk dapat belajar di luar negeri, termasuk di Suriname.
“Saya harap kegiatan ini menarik bagi kita semua sehingga yang sedang belajar di Universitas ini merasa terkesan. Dengan demikian, ketika pulang bisa membangun Suriname. Beberapa masih belajar di sini,” kata Angelic dalam pembukaan Festival Pendidikan dan Budaya Internasional, Selasa (13/10), di Grha Sabha Pramana.
Diceritakannya bahwa Suriname merupakan negara yang multikultur karena terdiri atas berbagai warga negara, termasuk di antaranya Indonesia yang mayoritas berasal dari Jawa. “Di sana nasi goreng masih ada, serta masakan China dan India,” ujarnya.
Diakui Angelic, hingga kini baru sekitar puluhan orang asal Suriname yang lulus dari UGM. Ia berharap ke depan dapat lebih dari seratus orang Suriname yang diluluskan UGM.
Saat ini, terdapat dua orang mahasiswa asal Suriname yang menempuh pendidikan di UGM. Salah satunya, Marciano Dasai, 30 tahun, kuliah S2 Jurusan Arsitektur. Ia mengaku tertarik berkuliah di UGM karena didorong keinginan kuat dirinya untuk mengetahui asal-usal nenek moyangnya yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah, dan Magetan, Jawa Timur.
“Saat di Pete, ketemu orang yang mengerti sejarah berdirinya kampung. Ternyata keluarga saya sudah tidak ada lagi karena Kromopawiro, keluarga nenek moyang saya hanya mempunyai satu anak, itu pun dibawa ke Suriname,” kata Marciano yang ditemui wartawan di stand pameran. Ia pun memperkenalkan diri. Ayahnya, Dalisa, berasal dari India dan ibunya, Sukartinem Jotiwongso, dari Jawa. Setelah mengetahui asal kampung nenek moyangnya, Marciano mengaku cukup senang karena dapat melihat langsung dan membayangkan bagaimana kehidupan para pendahulunya.
Apa yang dilakukan Marciano ini menggambarkan keinginan dan ketertarikan mereka yang merupakan keturunan Indonesia di Suriname untuk mengetahui dan melihat langsung daerah nenek moyangnya yang berasal dari Pulau Jawa. Sebagian besar masyarakat Jawa di Suriname, kata Marciano, bekerja di perkebunan dan pertambangan. Selain itu, ada juga mereka yang menjadi dosen dan birokrat. Untuk komunikasi, mereka menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi. “Kecuali di rumah, mereka menggunakan bahasa Jawa,” tutur anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Sekretaris Eksekutif UGM, Drs. Djoko Moerdiyanto, M.A., yang membuka secara resmi Festival Pendidikan dan Budaya Internasional mengatakan kegiatan ini diikuti oleh 12 kedutaan besar dan 16 institusi pendidikan dari berbagai negara. Dikatakan Djoko Moerdiyanto, festival internasional ini sekaligus untuk memeriahkan perayaan Dies Natalis ke-60 UGM. Festival akan diadakan pada 8-16 Oktober 2009 di halaman dan gedung Grha Sabha Pramana.
Dari kegiatan ini, masyarakat dapat melihat dan mengetahui informasi terkini tentang pendidikan dan budaya berbagai negara. Di samping itu, pengunjung juga bisa menikmati berbagai atraksi budaya, pertunjukan film, dan aneka hidangan kuliner dari mahasiswa asing yang menuntut ilmu di UGM. “Kita berharap semua aktivitas ini dapat menyatukan semua peserta yang telah berpartisipasi dan merasakan sebagai keluarga besar UGM,” ujar Djoko Moerdiyanto. (Humas UGM/Gusti Grehenson)