Ketergantungan terhadap pajak untuk kelangsungan pembangunan Indonesia di masa depan menjadi suatu keniscayaan seiring dengan menipisnya cadangan minyak dan gas bumi. Sayang, tingkat ketaatan pajak masih relatif rendah. Hal itu dapat dilihat di berbagai hasil penelitian. Kondisi tersebut tentunya sangat bertentangan dengan opini yang beredar di masyarakat yang menilai bangsa Indonesia adalah bangsa religius. Sebagai bangsa yang religius, nilai-nilai yang terkandung didalamnya diharapkan mampu menjadi pendorong masyarakat untuk taat pajak.
Demikian peryataan Agus Tony Poputra, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, saat mempertahankan disertasi berjudul “Ketaatan Pajak Penghasilan di Indonesia” di Auditorium BRI, Senin (12/10). Didampingi promotor Prof. Dr. Nopirin, M.A. dan ko-promotor Dr. Akhmad Makhfatih, M.A., Agus Tony menerangkan stigma bangsa religius muncul karena religiusitas pada umumnya diukur dengan menggunakan ritualitas agama atau penerapan agama yang sempit, seperti kewajiban beribadah, pendidikan agama, penggunaan atribut-atribut agama, dan bukan pada nilai substansi agama itu sendiri.
Pengukuran seperti itu dapat menyesatkan sebab dapat membentuk suatu bangsa yang munafik, hipokrit, yang cenderung mengedepankan “bentuk”, bukannya “substansi” (isi) dari agama. “Inilah jawaban mengenai mengapa stigma Indonesia sebagai bangsa religius tidak sejalan dengan ketaatan membayar pajak,” ujarnya.
Dengan beberapa alasan, kata Agus Tony, seseorang yang religius, sesuai dengan ukurannya, bisa taat akan pajak. Pertama, menurutnya, dana pajak dapat digunakan untuk meningkatkan harkat dan derajat kaum miskin. Hal itu selaras dengan religiusitas yang mengedepankan keberpihakan kepada yang kecil dan lemah. Kedua, dana pajak dapat digunakan untuk pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada kepedulian terhadap kelestarian lingkungan yang merupakan manifestasi rasa hormat kepada Ilahi.
Ketiga, dana pajak dapat digunakan untuk memperbaiki sistem hukum yang mendorong perbaikan dalam keadilan serta mengurangi penindasan bagi yang lemah. Keempat, taat dalam menjalankan kewajiban pajak merupakan salah satu praktik hidup jujur. “Temuan dalam penelitian menjustifikasi pandangan tersebut, bahwa wajib pajak yang religius dalam arti sesungguhnya cenderung lebih taat pajak,” pungkas pria kelahiran Ternate, 4 Agustus 1967 ini. (Humas UGM)