YOGYAKARTA – Wayang merupakan warisan budaya nusantara sekaligus warisan budaya dunia atas pengakuan UNESCO yang menetapkan wayang sebagai world herritage pada 7 Nopember 2003. Namun demikian, pengakuan tersebut belum direspon oleh negara dalam mengembangkan dan melestarikan wayang sebagai budaya tradisi. Alhasil, wayang semakin ditinggalkan generasi muda yang lebih gandrung dengan budaya massa
Pemerhati kebudayaan, Indra Tranggono, mengatakan negara telah melakukan pembiaran terhadap budaya lokal. Penetrasi budaya massa dari luar yang ditopang kekuatan kapital menjadikan budaya lokal kian terpinggirkan. “Sangat ironis, saat UNESCO menempatkan wayang sebagai warisan dunia, negara tidak melakukan proteksi yang jelas,” kata Tranggono dalam seminar Wayang dan Generasi Muda yang berlangsung di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Kamis (20/6).
Seni tradisi budaya lokal seperti wayang menghadapi kondisi yang memprihatinkan dari sisi pendanaan. Seniman wayang diharuskan berjuang sendiri untuk menghidupi kesenian lokal yang telah mengakar di masyarakat ini. Kendati berbagai inovasi wayang dilakukan oleh para seniman dengan munculnya wayang super, wayang kampung sebelah, wayang OHP, wayang layar lebar namun hasil kreativitas tersebut tidak mampu menarik generasi muda terhadap wayang.
Sebagai budaya seni tradisi, Wayang menurut Trangono mampu menjadi sumber inspirasi dari nilai-nilai dalam budaya ide, gagasan, ekpresi dan perilaku. Tidak hanya itu wayang mampu menjadi sumber identitas. “Fungsi wayang mampu sebagai perekat dan relasi dari komponen masyarakat,” katanya.
Selain minimnya dukungan dari negara, ia menilai kreasi dan inovasi wayang untuk mendekatkan wayang ke publik lewat kreator wayang juga masih sangat rendah. Oleh karena itu, inovasi dan kreasi wayang sangat dibutuhkan agar wayang tidak ditinggal penonton serta perlu adanya regenerasi penonton wayang. “Jika tidak maka wayang kehilangan stakeholder,” tegasnya.
Wayang relatif lebih dekat dengan generasi muda yang tinggal di desa. Sejak kecil mereka cenderung akrab dengan berbagai narasi, tokoh, dan pesan sosial wayang. Berbeda dengan generasi muda yang tinggal di kota yang lebih banyak dipengaruhi budaya massa. Menurut pendapat Tranggono, alasan generasi muda berjarak dengan wayang menurutnya disebabkan bahasa yang digunakan dalam wayang dianggap terlalu rumit sehingga sulit untuk dipelajari dan dipahami. Cerita atau lakon dan pesan sosial yang disampaikan cenderung berat. Bahkan pertunjukan wayang bercorak konvensional, durasi wayang terlalu lama dan frekuensi pergelaran wayang terhitung masih rendah.
Dia mengusulkan wayang perlu didorong untuk memasuki ekonomi kreatif yang memiliki basis penonton, pasar dan berbasis budaya yang berorientasi nilai. Selain itu wayang perlu didorong memunculkan karya yang memberi nafas baru tanpa harus merusak nilai-nilai dalam wayang, “Generasi muda perlu dikenalkan wayang dengan bahasa lakon, pesan sosial dan ajaran wayang,” katanya.
Pegiat Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), mengatakan media massa bisa dijadikan media dalam penyebarluasan informasi wayang. Akses terhadap media yang begitu mudah bagi masyarakat saat ini merupakan titik tengah mengangkat tradisi wayang, “Media massa perlu didorong untuk memberikan ruang khusus bagi wayang,” ujarnya.
Sutaryo menambahkan, sebagai warisan dunia, pelestarian wayang membutuhkan political will dari pemerintah agar adanya sinkronisasi kebijakan pendidikan dan kebudayaan supaya wayang dapat masuk ke dalam dunia pendidikan.
Ketua umum Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI), Ekotjipto, SH, mengatakan pihaknya akan mendorong budaya tradisi lokal ke dalam kurikulum di sekolah. “Ini usul dari komunitas wayang, supaya pemerintah segera memasukkan wayang dalam kurikulum sekolah,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)