Yogya, KU
Bencana alam menciptakan tragedi kemanusiaan, meruntuhkan sendi-sendi perekonomian, dan menghambat pembangunan. Di negara maju ataupun berkembang, masyarakat miskin adalah pihak yang paling rentan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Oleh karena itu, perlu dipikirkan suatu kebijakan nasional untuk memberi asuransi bagi masyarakat yang berada di daerah rawan bencana.
“Mereka tinggal di daerah rawan bencana harusnya mempunyai akses terhadap upaya penanggulangan selama ataupun sesudah terjadinya bencana. Diasuransikan lebih baik karena mengurangi dan melindungi mereka dari risiko bencana,” kata pengamat kebencanaan UGM, Dr. Sudibiyakto, kepada wartawan di Sekolah Pascasarjana UGM lt. 2, Kamis (15/10).
Menurut Sudibiyakto, sistem asuransi bencana, khususnya bencana alam, merupakan salah satu cara yang dirancang oleh pemerintah Jepang untuk mengurangi kerugian pascagempa. Pemerintah Jepang mengalokasi anggaran 5-6 persen dari anggaran nasional khusus untuk bencana.
“Dari asuransi bencana paling tidak mampu menurunkan dampak kerugian yang ditimbulkan. Setidaknya dari asuransi ini juga mampu membantu dana recovery,” kata Sudibiyakto seraya menceritakan Pemda Bantul sudah mengajukan dana asuransi kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sebagian masyarakat pedesaan di daerah bencana adalah miskin. Sebaliknya, di perkotaan terjadi kerusakan aset yang sangat mahal karena rusaknya infrastrukur. Dampak yang ditimbulkan oleh bencana sangat luas, meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, lingkungan, budaya, dan iptek. Diperlukan pendekatan multidisipliner dari berbagai ilmu dalam penanggulangan risiko bencana. “Teori, riset, dan kebijakan bencana sangat penting. Meningkatnya frekuensi bencana di dunia, terutama di Asia yang sangat signifikan peningkatan frekuensi kejadian dan jumlah korban,” katanya.
Pemerintah telah mempunyai rencana aksi pengurangan risiko bencana, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk menjembatani dan mendorong terjadinya sinergi antara kajian akademis dan perumusan kebijakan oleh praktisi dalam mengatasi persoalan bencana.
Dikatakan Sudibiyakto, Sekolah Pascasarjana UGM mendorong terjadinya dialog antara akademisi dan praktisi dari beragam institusi, baik dalam maupun luar negeri, untuk merespon dan mengantisipasi dampak bencana. Hal itu akan diwujudkan, antara lain, melalui seminar internasional “Disaster: Theory, Research, and Policy” yang dijadwalkan berlangsung pada 21-22 Oktober mendatang di gedung lt. V Sekolah Pascasarjana. (Humas UGM/Gusti Grehenson)