
Perayaan Kemerdekaan ke-80, Bangsa Indonesia masih menghadapi tantangan dalam upaya pembangunan demokrasi, pengentasan kemiskinan, penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat dalam mendorong kesejahteraan sosial. Tantangan Indonesia dalam tidak hanya hadir dari dalam negeri, namun juga situasi politik global. Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat untuk memperkuat demokrasi dan penegakan keadilan hukum dengan menyasar pada kelompok yang rentan.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Pemikiran Bulaksumur yang bertajuk “Politik, Penegakan Hukum dan Pemenuhan Rasa Keadilan”. pada Jumat (15/8) yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar (DGB) UGM secara daring.
Ketua DGB UGM, Prof. Dr. Muhammad Baiquni, M.A menyebut Indonesia memiliki sejarah panjang meraih kemerdekaan. Selain faktor gotong royong dan persatuan, ada faktor eksternal yang menjadi momentum merdekanya Indonesia, yakni kekosongan pemerintahan akibat tragedi Nagasaki dan Hiroshima di Jepang. Fakta tersebut menunjukan bahwa kehidupan bangsa dan negara tidak terlepas dari pengaruh dunia internasional. Kondisi geopolitik global perlu menjadi perhatian untuk menetapkan langkah kebijakan yang baik. “Kemerdekaan kita dulu adalah perhitungan yang cermat. Maka kita perlu merefleksikan kembali kondisi politik, penegakan rasa keadilan di Indonesia,” tuturnya.
Dosen Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar menjelaskan sejumlah tantangan demokrasi dan hukum yang dihadapi Indonesia sekarang ini. Ia menyebut Indonesia sedang mengalami gejala otoritarianisme atau “third-termism”. Tantangan Indonesia dalam tidak hanya hadir dari dalam negeri, namun juga situasi politik global. Menurutnya, diperlukan komitmen kuat untuk memperkuat demokrasi agar setiap unsur dapat berjalan seimbang. “Sebuah sistem tidak pernah mencapai kata sempurna. Akan selalu ada dinamika di dalamnya yang akan memperkuat ataupun melemahkan sistem itu sendiri,” ujarnya.
Guru Besar Antropologi Hukum, Universitas Indonesia, Prof. Sulistyowati Irianto, mengulas bagaimana pemaknaan akan negara hukum mengalami perkembangan. Ia menjelaskan setiap bangsa memiliki konteks hukum yang berbeda. Suatu konsep hukum di sebuah negara belum tentu bisa diterima oleh negara lain. Lebih jauh lagi, persoalan hukum sebenarnya menjadi dasar fundamental atas problematika lainnya seperti kemiskinan.
Berdasarkan riset terkini, sebanyak 14 juta orang di dunia mengalami kemiskinan karena terlempar dari akses keadilan. Sulis menambahkan, kemiskinan adalah perkara yang kompleks sehingga bukan hanya faktor ekonomi saja yang berpengaruh. “Penegakan keadilan di suatu bangsa dapat berpengaruh besar terhadap taraf hidup masyarakatnya,” ujarnya.
Ketertinggalan masyarakat atas akses keadilan dapat dimulai dengan melihat siapa kelompok yang terhambat tersebut. Salah satu sasarannya adalah kelompok perempuan. Sehingga perlu secara detail untuk mengetahui kebutuhan mendasar dari perempuan dan hak mana yang belum terpenuhi. “Keadilan dibuat untuk siapa? Ada spesifiknya. Akan lebih baik jika program dibuat secara afirmatif. Bukan ‘justice for all’ tapi “justice for who’,” ujar Sulis.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik