Perhelatan Indonesian Indoor Aerial Robot Contest 2009 (IIARC) belum lama usai. Tim Go-Black Universitas Gadjah Mada menempati posisi ketiga di kejuaraan tersebut. Kali ini, Tim Big Butterfly Universitas Maranatha dan Tim Underground Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil menduduki posisi pertama dan kedua.
“Andai saja tidak crash yang menyebabkan sayap patah saat pengintaian, mungkin hasilnya akan menjadi lain,” kenang Prima Ardiyanto, di Ruang Fortakgama UGM, Jumat (16/10). Meski begitu, ia bersama tiga teman lainnya dari Jurusan Elektronika dan Instrumentasi FMIPA UGM, Lambang Wicaksono, Pidar Febriaji, dan Fredy Darmawan, sudah merasa cukup bersyukur.
Kontes robot terbang yang berlangsung di ITB pada 11-12 Oktober 2009 ini diikuti oleh 14 tim perguruan tinggi di Indonesia. Saat lomba, hampir seluruh tim menunjukkan penampilan terbaiknya. Hanya saja, tidak semua peserta dapat menyelesaikan misi dengan baik. “Pesawat-pesawat yang terbang tidak bisa kembali ke daerah take off,” jelas Pidar Febriaji mewakili teman-temannya.
Ditambahkan Pidar, di samping melakukan presentasi tentang desain, keunikan, dan kelebihan sistem pesawat, dalam kontes tersebut peserta diwajibkan melakukan sesi validasi, yakni penimbangan berat pesawat serta uji ketahanan pesawat dengan motor yang dijalankan secara maksimal. Setelah itu, pada sesi terbang, pesawat diwajibkan melakukan misi pengintaian. Dalam misi ini dilakukan pemantauan udara di atas sebuah area tertentu dengan menempatkan sejumlah karakter alphabet yang dicetak di atas kertas.
“Pesawat memang tidak diperbolehkan lebih dari 150 gram. Melalui video yang ditransmisikan secara on-line dari pesawat diharapkan mampu merekam karakter-karakter tersebut. Semakin banyak hal-hal yang dapat dipantau, tentu skornya semakin tinggi,” terang Pidar.
Tim Go-Black UGM merasa beruntung karena prototipe pesawat mereka terbuat dari stereoform. Dengan begitu, saat terjadi beberapa kali patah baling-baling langsung dapat diganti. “Ada empat peserta yang lolos final, Big Butterfly, Maranatha, Underground, ITB, Fighter 2, STT Adi Sutjipto, dan UGM. Saat final, pesawat milik Tim STTA mengalami tabrakan dan pesawat mengalami patah. Padahal, semua bahan terbuat dari kayu sehingga tidak bisa diperbaiki secara cepat,” imbuh Pidar.
Dalam dunia penerbangan, pesawat tanpa awak sesungguhnya dipergunakan untuk pengambilan berbagai data. Indonesia hingga kini belum memiliki jenis pesawat semacam itu karena harganya sangat mahal. Oleh karena itu, mereka berempat berharap suatu ketika prototipe pesawat yang mereka miliki dapat diwujudkan. “Karena pesawat ini ke depan bisa digunakan, untuk dikembangkan sebagai pesawat pengintai UHV yang berfungsi sebagai pengintai untuk traffic light lalu lintas, pengintaian kebun atau perkebunan yang cukup luas, atau kepentingan-kepentingan yang lain. Demikian juga untuk kepentingan militer juga bisa,” kata Pidar. (Humas UGM)