
Rahma Khoirunnisa, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tidak pernah menyangka bahwa perjalanan hidupnya sebagai anak bungsu dari Jayapura akan membawanya menjadi salah satu dari sepuluh mahasiswa terpilih penerima beasiswa dari PT Freeport Indonesia pada tahun 2022. Beasiswa tersebut membantunya melanjutkan pendidikan di tengah masa-masa sulit yang sempat melanda keluarganya.
Rahma sendiri lahir dan besar di Jayapura, Provinsi Papua. Rahma tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya bekerja di proyek pembangunan yang sifatnya tidak tetap, sementara ibunya mengajar sebagai guru taman kanak-kanak. Pandemi COVID-19 yang melanda pada 2021 membuat kondisi keuangan keluarga terpuruk. “Waktu itu proyek-proyek banyak yang nggak jalan, ayah sempat nggak bekerja sama sekali. Semua pembiayaan ditanggung ibu saya, padahal beliau guru TK dengan penghasilan dua jutaan per bulan,” ujar Rahma Kamis (3/7).
Di semester awal seluruh biaya ditanggung keluarga. Hingga suatu hari di semester tiga, Rahma menerima kabar mengejutkan dari Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) UGM. “Tiba-tiba saya dihubungi Ditmawa pagi-pagi. Katanya, ‘Selamat ya Mbak, Anda dapat beasiswa Freeport’. Saya sempat shock dan nggak percaya karena saya nggak merasa daftar. Tapi setelah dijelaskan dan bahkan diundang ke seremoni penyerahan beasiswa, baru saya benar-benar yakin,” paparnya.
Beasiswa Freeport yang diterima Rahma untuk menanggung biaya UKT selama maksimal delapan semester. Meskipun tidak mencakup biaya hidup atau keperluan lainnya, bantuan ini menjadi titik balik yang signifikan dalam kehidupan akademiknya. “Yang paling terasa tentu soal beban finansial. Sekarang orang tua saya cukup memikirkan biaya hidup dan tempat tinggal saja. Saya bisa kuliah lebih tenang tanpa rasa bersalah karena harus minta uang kuliah lagi ke orang tua,” tuturnya.
Selain itu, Rahma juga menyebutkan bahwa dengan beban biaya yang lebih ringan, ia jadi lebih leluasa mengikuti kegiatan di luar akademik. “Kalau dulu mau ikut kegiatan tuh suka mikir, masa iya harus minta uang lagi ke orang tua buat ini itu. Sekarang, energi itu bisa saya pakai untuk eksplorasi lebih banyak hal,” tuturnya.
Menurut Rahma, salah satu hal yang membuat beasiswa Freeport ini unik adalah proses seleksinya yang berbeda dari beasiswa lainnya. “Kami nggak daftar sendiri. Ditmawa yang menyeleksi dari data, dan mahasiswa yang memenuhi kriteria langsung dihubungi. Katanya, salah satu pertimbangannya karena saya lahir dan besar di Papua, belum pernah dapat beasiswa lain, dan IPK saya juga mendukung,” katanya.
Meskipun tidak ada kontrak kerja atau pembinaan lanjutan dari pihak Freeport, Rahma tetap mengapresiasi beasiswa ini. “Saya sangat berterima kasih ke Freeport. Tapi mungkin kedepannya bisa lebih dikembangkan, misalnya dengan pelatihan, pembinaan, atau proyeksi karier untuk penerima beasiswa,” ujarnya.
Dari hal ini, Rahma berbagi pesan untuk mahasiswa lain yang sedang berjuang mendapatkan beasiswa. “Jangan pernah putus asa kalau punya beban finansial. Percaya deh, Tuhan tuh pasti kasih jalan dari arah yang nggak kita sangka. Apply terus aja. Kita nggak pernah tahu yang mana yang bakal menerima kita,” pungkas Rahma.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie