YOGYAKARTA – Menjadi salah satu wisudawan yang lulus dengan predikat cumlaude pada wisuda pascasarjana UGM periode IV, Kamis (25/7), menjadi kebanggan tersendiri bagi Yanuarius Boko, 39 tahun. Betapa tidak, pria yang berasal dari salah satu daerah tertinggal di Indonesia ini bisa berhasil menyelesaikan kuliah 1 tahun 6 bulan, lebih cepat dibandingkan dari lama studi rata-rata lulusan S2 lainnya, 2 tahun 7 bulan. “Secara pribadi saya senang dan bersyukur, saya termasuk diantara lulusan yang cumlaude. Saya juga tidak menyangka bisa lulus cumlaude di UGM,” kata Boko yang lulus dengan nilai Indek Prestasi Kumulatif ( IPK) 3,77 ini ditemui di sela acara wisuda.
Pria kelahiran Bonan, Kabupaten Belu, NTT, lulus pada prodi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Sekolah Pascasarjana. Alasannya memilih prodi ini, kata Boko, karena menyesuaikan dengan kebutuhan daerahnya yang memerlukan mediator bagi potensi kerawan konflik yang muncul di daerah asalnya. ”Saya begitu tertarik dengan prodi ini karena daerah saya termasuk satu dari tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, memiliki potensi konflik, terutama konflik agraria,” ujar bapak dua anak ini
Ada 14 ribu warga eks Timor Timur pasca referendum tahun 1999 yang memilih tinggal dan menjadi warga Indonesia di NTT. Mereka umumnya menempati tanah milik warga lokal dan lahan yang disediakan pemerintah. “Jika tidak kita antisipasi, 5 hingga 10 tahun ke depan potensi itu bisa terjadi,” kata anak kelima dari 7 saudara dari pasangan Johanes Boko (alm) dan Theresia Abuk.
Kendati menyukai kuliah di Prodi Perdamaian dan Resolusi Konflik, namun pada awal kuliah, Boko bercerita awalnya ia kesulitan mengikuti materi perkuliahan sejak masuk kuliah UGM pertengahan tahun 2011. Pasalnya, selama delapan tahun menjadi pegwai negeri sipil sejak 2003, dirinya tidak banyak membaca buku dan tidak mengakses informasi yang cukup. “Saya dari Indonesia bagian timur, anda tahu sendiri, penguasaan teknologi informasi di sana masih tertinggal jauh. Saya sempat menyesal karena sangat sulit bagi saya, sempat muncul ketakutan dan rasa pesimis,” katanya.
Beruntung, kata Boko, para dosen datang membantu dan memberikan motivasi padanya. Bahkan dukungan juga mengalir dari teman-teman kuliahnya hingga akhirnya Boko mampu mengatasi persoalan studinya. “Saya berusaha menyesuaikan diri. Prinsip saya, biaya sekolah saya bukanlah dari uang saya pribadi, tapi uang pemerintah, berarti uang dari masyarakat. Karena itu saya ingin sedapat mungkin mampu memberikan yang terbaik,” ungkapnya.
Setelah lulus dari S2 UGM, Boko berencana akan kembali melakoni pekerjaannya menjadi staf di Pemkab Belu. Ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah menurutnya bisa ia gunakan untuk memberikan kontribusi bagi pemerintah dan masyarakat dalam mensukseskan pembangunan. “Saya akan mengajak mereka untuk mengelola konflik dengan baik. Meminimalisir konflik maka pembangunan akan berjalan lancar,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)