LOMBOK, NTB – Umurnya sudah tidak muda lagi, 80 tahun. Tapi semangatnya untuk memajukan dunia pendidikan tidak pernah pudar. Bahkan sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk membangun pendidikan sejak awal tahun 1960-an. Alhasil, lima perguruan tinggi ditambah sebuah sekolah menengah atas di Nusa Tenggara Barat berhasil dibangun lewat tangan dinginnya.
Dia adalah adalah Mamik Lalu Azhar. Lulusan angkatan pertama jurusan sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM ini bukanlah seorang pengusaha. Kegigihan dan kerja kerasnya membangun pendidikan bagi putra daerah lombok justru terinspirasi dari pendirian kampus UGM. Sejak awal berdirinya, kata Mamik, UGM tidak memiliki tanah dan bangunan, untuk kuliah menggunakan bangunan milik keluarga kraton Yogyakarta.“Saya terinspirasi dengan UGM yang dulu pinjam rumah-rumah (milik) pangeran untuk tempat kuliah,” ujarnya yang mengaku sempat kuliah di komplek Dalem Mangkubumen.
Mamik, demikian ia akrab dipanggil, bercerita setelah mengenyam kuliah di Yogyakarta, tahun 1961 dia kembali ke Lombok dengan bekerja di kantor sekretariat Gubernur NTB. Setahun kemudian, dia merintis berdirinya perguruan tinggi pertama di NTB. Karena belum memiliki tanah dan gedung untuk tempat perkuliahan. Ia pun menghubungi beberapa teman-temannya yang berasal dari Bali untuk dipinjami rumah mereka untuk dijadikan tempat kuliah. Lalu bagaimana dengan calon mahasiswa?Mamik pun tidak kehilangan ide. Tidak sabar menunggu lulusan SMA yang mendaftar, Mamik menawarkan kepada teman-temannya yang bekerja di pemerintahan untuk daftar kuliah di kampus miliknya. Sedangkan tenaga pengajar dia rekrut Sembilan orang lulusan UGM, salah satunya Kardono, lulusan Peternakan UGM. “Saya mengajak semua lulusan UGM yang datang ke Lombok untuk jadi tenaga mengajar,” katanya.
Saat pertama kali berdiri, perguruan tinggi tersebut hanya membuka tiga fakultas, ekonomi, hukum, dan pertanian. Menurut Mamik, sejak dibuka sebagai peguruan tinggi pertama di NTB, dia tidak memungut bayaran pada mahasiswanya. Padahal untuk para pengajar Mamik harus memberi gaji mereka sesuai dengan standar gaji pegawai negeri saat itu. Yang dilakukan Mamik salah satunya menggunakan salah satu gedung kuliah disulap menjadi gedung bioskop pada malam harinya. “Dapat dana putar film. Sampai Gubernur dan anaknya juga ikut nonton. Saya waktu itu belum berkeluarga. Jadi masih bisa muter cari uang ke mana-mana,” kenangnya.
Beruntung, tidak lama setelah lima tahun perguruan tinggi tersebut berdiri, 1967, Mamik diangkat sebagai kepala Badan Pemerintah Harian bidang Kesra. Meski disibukkan dengan urusan pemerintahan namun Mamik tetap tidak lupa mengurus perguruan tinggi miliknya. Ia pun bertandang ke beberapa perguruan tinggi lain seperti UGM, UI dan Universitas Padjajaran untuk menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang dirintisnya tersebut. Hingga akhirnya perguruan tinggi miliknya makin bertambah besar dan berkembang dan statusnya pun berubah menjadi Perguruan Tinggi Negeri, Universitas Mataram (Unram). Selain Unram, empat perguruan tinggi lain yang dibangun oleh Mamik adalah Ikip Mataram, Universitas 45, Universitas NTB dan Stikes Yarsi Mataram.
Jabat Wakil Gubernur
Kariernya sebagai pegawai negeri sipil, Kata Mamik memang dihabiskan bekerja sebagai staf di kantor pemerintah provinsi Nusa tenggara Barat. Hingga tahun 1996, menjelang pensiun, dia ditawari untuk menjadi calon wakil gubernur. Tawaran tersebut pun diterimanya hingga ia menjabat wakil gubernur selama lima tahun, 1996-2001.
Kini, meski sudah tidak lagi menjabat di pemerintahan, Mamik tetap menjadi tokoh masyarakat berpengaruh di NTB. Menurut pengakuan Mamik, hampir semua kepala daerah dan pemegang pemangku kebijakan mayoritas merupakan lulusan dari sekolah menengah, Jana Marga, dan perguruan tinggi miliknya. “Sering calon kepala daerah yang ingin maju dalam pemilihan meminta masukan,” kata Mamik yang kini menjadi anggota dewan pertimbangan salah satu partai politik .
Pria kelahiran lombok 26 juni 1935 ini merupakan anak ke 4 dari 8 bersaudara. Ayahnya, Mamik Rifaa, merupakan kepala daerah lombok, pada tahun 1950-1958. Foto sang ayah bersama presiden Soekarno terpampang megah di pojok dinding ruang tamu. Di ruang ini lah, Mamik menerima tamu yang datang berkunjung. “Sebentar lagi Gubernur NTB mau datang silaturahmi lebaran,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)