Yogya, KU
Penempatan posisi beberapa calon menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) berdasarkan akomodasi partai politik dinilai banyak kalangan tidak berdasarkan profesionalisme. Hal tersebut sengaja dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk lebih dapat mengontrol kerja menteri agar tetap loyal dan memiliki karakter yang sama.
“Profesionalisme memang dikorbankan. Tak sesuai pos keahlian merupakan bentuk kebutuhan sekuritas yang dilakukan SBY agar bisa tetap mengontrol kinerja kabinet,” kata pengamat politik UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim, di kampus UGM, Selasa (20/10). Dalam pandangan Gaffar, Presiden SBY tampaknya ingin membangun kekuatan politik yang sebesar-besarnya melalui para menterinya. Dengan begitu, di bawah kepemimpinannya, para menteri memiliki citra yang sama.
Sementara itu, tentang posisi PDI-P, Hanura, dan Gerindra, menurut hemat Gaffar sebaiknya tetap tidak ikut dalam gerbong pemerintahan. Hal tersebut patut dilakukan untuk mengontrol kerja pemerintah melalui DPR sehingga ada keseimbangan dengan eksekutif. “Sayangnya kan di DPR tak sepaham selama ini. Ada yang oposisi, tapi ada yang tetap mendukung pemerintah,” ujarnya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Arie Sudjito,S.Sos., M.Si. Menurutnya, komposisi kabinet sekarang ini dinilai belum memenuhi kapasitas. Oleh karena itu, sulit juga memberikan optimisme kepada publik. “Mengenai jargon SBY-Boediono, saya optimis, tapi dari sumber daya di kabinet, saya justru pesimis,” imbuh Arie.
Dikatakannya pula bahwa rakyat saat ini tak butuh hal-hal yang abstrak, tetapi program konkret dan terukur yang dilakukan dengan ukuran yang jelas. Oleh sebab itu, masyarakat sipil, parlemen, dan oposisi harus memantau kinerja pemerintah selama 100 hari ke depan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)