
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya laut yang kaya. Potensi hewan laut ini dapat dimanfaatkan sebagai pangan biru yang tidak hanya bergizi, tetapi juga memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Hal itu mengemuka dalam diskusi “Blue Bites: A Culinary Dive into Climate-Friendly Food Solutions” di Royal Ambarrukmo pada Rabu (30/7).
Atin Prabandari, Ph.D dari Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM menjelaskan bahwa kerja-kerja perempuan menjadi sebuah aspek yang kerap dilupakan dalam pembahasan mengenai pangan biru. Padahal, menurut Atin, kerja-kerja perempuan ini mempunyai peran besar dalam pengelolaan pangan biru hingga dapat dikonsumsi. “Perempuan punya peran mayoritas dalam pangan biru, utamanya dalam pascapanen dan pengelolaannya. Angkanya ini bahkan lebih dari 60—70%,” ujarnya.
Atin menekankan pentingnya kerja-kerja perempuan ini. Menurutnya terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai peran perempuan. Pertama adalah bagaimana untuk mengubah pola pikir masyarakat, khususnya dari aspek kultur dan ekonomi, termasuk bagi kalangan perempuan itu sendiri. Selain itu perlu juga untuk mendokumentasikan kerja-kerja perempuan di bidang tersebut sehingga mencapai kesadaran bersama mengenai perempuan dan pangan biru pada masyarakat.
Dr. Tukul Rameyo Adi, pengajar dari IPB University menyoroti soal pangan biru dan blue bites. Menurutnya, blue bites merupakan bentuk langsung dari pangan biru, yaitu pangan yang berasal dari ekosistem perairan, laut, pesisir, sungai, dan danau. Tukul menyebut bahwa dengan mengonsumsi pangan biru, masyarakat telah berkontribusi untuk menurunkan emisi karbon di lingkungan. “Pangan biru seperti ikan, rumput laut, dan kerang kaya nutrisi dan mempunyai jejak karbon yang lebih rendah daripada daging merah. Selain itu, pangan biru dapat menopang ekonomi masyarakat pesisir serta perairan darat,” sebutnya.
Selaras dalam hal pendokumentasian, Meilati Batubara dari NUSA Indonesian Gastronomy Foundation mengisahkan prosesnya dalam mendokumentasikan menu-menu lokal berbasis pangan biru. Mei dan timnya akhirnya berhasil mengumpulkan sebanyak 500 resep di seluruh Indonesia. Jumlahnya yang banyak ini menurutnya berasal dari warisan moyang bangsa Indonesia yang jamak mengkonsumsi hewan laut.
Ia mencontohkan bagaimana ikan poro-poro yang menjadi panganan lokal bagi masyarakat di sekitar Danau Toba. Ada pula nyale atau sejenis cacing laut yang menjadi menjadi panganan lokal khas masyarakat Pulau Lombok. Untuk itu, Mei terus mendukung pendokumentasian dan pencatatan pangan lokal berbasis pangan biru sebagai kekayaan kuliner Nusantara.
Kegiatan diskusi ini merupakan salah satu rangkaian pada kegiatan The 5th International Conference on Integrated Coastal Management and Marine Biotechnology. Erwin Sabarini selaku perwakilan Climateworks Centre menyampaikan bahwa kegiatan ini mengajak masyarakat konsep Blue Food Nexus dengan pengalaman untuk mencicipi hidangan laut dan air tawar secara langsung. Selain itu, kegiatan ini ditujukan untuk membuka dialog mengenai inovasi pangan biru dan menjadi ruang dialog seputar ketahanan pangan, kesehatan, laut, dan kebijakan iklim. “Pangan biru itu bukan hanya mengenai bukan sekadar menu laut, tetapi juga wujud nyata aksi iklim yang berkeadilan,“ sebutnya.
Penulis : Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson