Yogya, KU
Ekonom UGM, Dr. Sri Adiningsih, mengkritisi rencana kenaikan gaji menteri. Menurutnya, belum saatnya gaji para menteri mengalami kenaikan di tengah banyaknya pengangguran dan korban PHK sebagai dampak krisis global. “Isu kenaikan gaji sangat sensitif, membuat masyarakat sakit hati karena masih banyak pengangguran dan PHK,” kata Adiningsih kepada wartawan.
Ditemui di sela-sela kegiatan seminar nasional ‘Perkembangan APEC dan Perannya di Indonesia’ yang digelar di University Club (UC), Senin (26/10), ia mengatakan meski dari segi anggaran, kenaikan gaji menteri tidak berpengaruh signifikan, tetapi akan lebih bijaksana jika rencana tersebut ditunda. Kalaupun tidak ditunda, kenaikan sebaiknya dilakukan secara bertahap. “Nggak terlalu signifikan, tapi pada saat ini akan lebih bijaksana kenaikan bertahap, tidak dengan rencana naik 3-4 kali lipat,” imbuhnya.
Terkait dengan rencana adanya posisi wakil menteri untuk beberapa pos kementerian yang direncanakan oleh Presiden SBY, menurut Adningsih tidak terlalu efektif. Hal itu didasarkan atas bobot pekerjaan yang dirasa tidak membutuhkan. “Ada dirjen, staf ahli, dan asistensi. Sebenarnya semua yang berada di departemen efektif sudah cukup,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik UGM, Arie Sudjito, S.Sos. M.Si., mendesak kalangan DPR harus berani menolak rencana kenaikan gaji para menteri dan tidak justru mendukungnya. Rencana kenaikan gaji menteri di awal pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ini dinilainya semakin memerosotkan citra mereka di mata publik, di samping persoalan mendasar lainnya. “Parlemen harusnya berteriak keras soal itu,” katanya, Senin (26/10).
Arie Sudjito mengatakan para menteri baru SBY-Boediono memiliki beban psikologis yang semakin berat di masa 100 hari kerjanya. Beban itu tidak semakin ringan dengan banyaknya tudingan bahwa pos-pos yang ditempati oleh beberapa menteri bertolak belakang dengan kemampuan dan bidangnya. Belum lagi dengan adanya kontrak politik yang mereka lakukan dengan SBY. (Humas UGM/Gusti Grehenson)