Tahun 2007, menjadi tahun penting bagi UGM ketika kegiatan bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat diterima sebagai anggota Regional Center of Expertice (RCE) dari United Nations University, Tokyo. Kegiatan ini tentunya semakin memantapkan posisi UGM sebagai World Class Research University. Bahkan dalam hal ini, UGM mendapat kepercayaan dari UNESCO untuk menjadi pusat dari RCE, yaitu sebuah jaringan aktivitas lokal di berbagai daerah/kota di dunia yang mengkampanyekan pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan (Education on Sustainable Development/ESD).
Demikian laporan Rektor UGM Tahun 2007 yang disampaikan Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD pada puncak acara peringatan Dies ke-58 UGM, Rabu (19/12) di Grha Sabha Pramana.
Dilaporkan juga, sampai tahun 2007 aplikasi Sistim Akuntansi UGM (SIMAKUN-GAMA) masih terus diesmpurnakan dan disesuaikan dengan kondisi UGM dan peraturan pemerintah terkini.
“Aplikasi tersebut sejak tahun 2005 telah diimplementasikan ke seluruh unit di UGM dengan sistim online. Data per Oktober 2007 menunjukkan sebanyak 395 dari 499 atau 88% pengelola dana di UGM telah menggunakan SIMAKUN-GAMA dengan optimal,†ujar Prof Djarwadi.
Untuk mewujudkan visi UGM sebagai universitas riset, diperkirakan pada tahun 2010 dosen UGM berpendidikan S3 (doktor) mencapai 40%. Terkait hal itu, maka pengembangan sumberdaya manusia memberikan bantuan dana studi tahun 2007 untuk S2/S3 bagi dosen di dalam/luar negeri (92 orang), bantuan dana studi S2 bagi tenaga kependidikan (15 orang). Program ini secara berkesinambungan akan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.
Saat ini, dilaporkan juga, telah terpasang infrastruktur jaringan komunikasi berbasis serat optik serta koneksi broadband dengan bandwidth cukup besar, yaitu 28 Mbps, sehingga UGM menjadi salah satu universitas dengan konektivitas terbesar di Indonesia.
Tercatat hingga 27 Oktober 2007 berita UGM dimunculkan sebanyak 2 169 kali atau rata-rata 7,13 kali setiap harinya. Banyaknya berita UGM di media massa ini membawa dampak positif, bahwa public semakin mengenal visi dan misi yang diemban UGM. Pun sepanjang tahun 2007, tercatat 89 SMA, dari Jawa, Bali, NTB dan Lampung berkunjung ke UGM.
“total jumlah siswa yang mengunjungi 15 070 orang,†ujar Pak Djarwadi.
Selain itu, dilaporkan pula bahwa tingkat selektivitas menjadi mahasiswa UGM cukup bagus, yaitu rata-rata 1 berbanding 22. Dari 64 program studi yang telah terakreditasi, sebanyak 55 prodi atau 86% memperoleh nilai A, 8 prodi atau 12,5% nilai B dan 1 prodi memperoleh nilai C.
“Akreditasi bertaraf internasional sedang dipersiapkan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, sementara kelas internasional FK UGM telah mendapat akreditasi dari Malaysian Medical Council. Pun dengan jumlah mahasiswa asing yang menempuh pendidikan, baik program degree maupun non degree setiap tahunnya terus meningkat,†lanjut Rektor.
Dalam laporannya, disebutkan pula berbagai prestasi yang diraih UGM selama tahun 2007. Selain prestasi Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu yang telah mendapat sertifikat ISO 1725:2005 dari Komite Akreditasi Nasional, disebutkan juga prestasi Perpustakaan UGM yang telah berkembang cyber library yang makin mantap.
Disamping Kontingen Mahasiswa UGM yang kembali menjadi juara umum pada PIMNAS ke-20, disebutkan juga prestasi UKM Paduan Suara UGM yang berhasil meraih golden diploma pada Asian Choir Games di Jakarta. Demikian pula tim basket mahasiswa putra UGM yang berhasil menyabet juara liga bola basket mahasiswa nasional.
“UGM pun kini menempati urutan 360 dari 400 besar Perguruan Tinggi dunia dalam World University Rankings 2007 versi THES dan urutan ke-95 dari 100 perguruan tinggi Asia versi Webometrics,†tandas Pak Djarwadi.
Sementara itu, Prof Dr Irwan Abdullah dalam orasi ilmiahnya menyatakan, Indonesia dinilai belum siap untuk bertarung dalam pasar bebas dunia. Akibatnya, kedaultan negara menjadi tergadaikan dan kedaultan rakyat terabaikan.
“Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada pertanyaan besar mendasar tentang kedaulatan negeri ini karena serangkaian klaim dari negara lain, khususnya negara tetangga tentagn pemilikan suatu asset ekonomi, politik dan budaya,†kata Prof Irwan.
Direktur Pascasarjana UGM ini mencontohkan dalam dunia yang semakin luas dan terbuka, Indonesia tampaknya belum siap bertarung di pasar bebas yang tampak dari tidak mampunya negara menyelesaikan banyak sengketa laut dan darat.
Dalam pidato berjudul “Reorientasi Pembangunan Nasional : Menuju Indonesia Yang Berdaulat dan Bermartabatâ€, dikatakan pemerintah tidak pernah mensosialisasikan batas-batas laut kepada masyarakat, sehingga banyak yang tidak memahami batas laut teritororial atau laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Administrasi laut yang kacau tampak juga pada fakta misalnya klaim pulau besar dan kecil Indonesia berjumlah 17.504, namun kita hanya mampu memberi nama dan posisi geografisnya baru sebanyak 7.970. Berbagai klaim negara lain ini menurut Irwan menunjukan betapa lemahnya kedaulatan negara. Semakin terbukanya negeri ini bagi dunia luar merupakan persoalan yagn emmbtuuhkan pertahain.
“Pada satu sisi kita tidak boleh menutup diri, namun kesiapan untuk terlibat dalam suatu ruang yang lebih luas membutuhkan kepiawaian yang tampaknya belum dimiliki oleh bangsa ini,†tegasnya.
Ditegaskannya, Indonesia saat ini terlalu dikendalikan bahkan didikte oleh dunia internasional. Sehingga tidak salah jika banyak pihak mengatakan Indonesia sudah kehilangan kemandirian dan kedaulatan dalam menentukan nasibnya sendiri.
Di bagian lain Prof Irwan mengatakan pembangunan juga telah mengabaikan kedaulatan rakyat. Bukannya memunculkan kesejahteraan rakyat, pembangunan justru memunculkan persoalan riskan yang harus dihadapi rakyat.
“Keyakinan kita tentang pembangunan akan membawa kesejahteraan mulai goyah terutama pada saat ebgitub anyak kerusakan terjadi akibat pembangunan, ketimpangan sosial dan konflik dalam berbagai bentuk selain hutang yang memberatkan,†katanya.
Salah satu kecenderungan yang penting yang bertolak belakang dengan misi kesejahteraan adalah pengabaian terhadap potensi lokal dalam proses pembangunan. Revolusi hijau merupakan contoh pembangunan yang menjauhkan masyarakat khususnya petani dari kearifan lokal tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, Dirinya menyarankan perlunya pencerahan melalui berbagai program pendidikan dan reorientasi kebijakan pembangunan yang bisa menjawab kedaulatan negara, kedaulatan rakyat serta terjaganya potensi lokal. (Humas UGM)