Yogya, KU
Fakultas Kedokteran (FK) UGM melantik 16 dokter asing yang seluruhnya berasal dari Malaysia. Menurut penuturan Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., para dokter tersebut merupakan peserta program internasional yang berdiri sejak 2002 lalu, di samping program reguler yang telah ada sebelumnya. Hingga kini, baru lima perguruan tinggi, yakni UGM, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga yang membuka program internasional di fakultas kedokterannya.
Menurut Ghufron, selain mahasiswa asal Malaysia, program internasional di UGM juga diikuti oleh beberapa mahasiswa negara lain, seperti Vietnam, Myanmar, dan Jerman. Saat ini, mahasiswa lokal pun mulai diberikan porsi yang lebih besar di program tersebut. “Kalau dulu, di program internasional memang hanya khusus mahasiswa asing. Saat ini, mahasiswa Indonesia sudah mulai diberi porsi yang lumayan banyak,” katanya kepada wartawan usai acara pelantikan dokter di Auditorium FK UGM, Kamis (29/10).
Lebih lanjut Ghufron mengatakan program internasional bagi dokter asing ini sekaligus sebagai upaya untuk meraih World Class Research University (WCRU) yang telah digalakkan oleh UGM. Dari sisi pembelajaran, kelas/program internasional sama dengan program reguler, tetapi pengantar dan bahasa kuliah menggunakan bahasa Inggris. Untuk biaya rata-rata yang dikenakan dapat mencapai 12 ribu US dolar per mahasiswa per semester, sementara untuk mahasiswa lokal dikenakan biaya setengahnya. “Peminat program internasional ini lumayan, per tahun bisa mencapai 300-400 calon mahasiswa,” imbuhnya.
Lulusan terbaik dalam pelantikan dokter kali ini diraih oleh Noor Sheereen binti Adzaludin, 26 tahun, dengan IPK 3,56, yang ditempuh dalam waktu 5 tahun 3 bulan. Sekembalinya ke Malaysia, perempuan kelahiran Johor, 8 Agustus 1983 ini berencana melamar kerja praktik di rumah sakit. “Daftar dari (ijazah) dokter bisa langsung diterima di sana,” kata Noor yang asli Melayu ini.
Ia menceritakan selama kuliah di Jogjakarta, dirinya indekos dengan rekan sesama warga Malaysia di wilayah Jalan Kaliurang. Untuk urusan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, ia mengaku tidak menemui banyak kesulitan. Hal itu dipermudah dengan kondisi budaya masyarakat Jogja yang terkenal cukup ramah dan santun terhadap pendatang. Hanya saja, ia tidak terbiasa dengan masakan pedas yang sering ditemui di warung-warung makan di Jogja. “Lingkungan di sini cukup baik. Meski jauh dari keluarga, tapi seolah merasa satu keluarga,” kata Noor yang menempuh studi lewat program beasiswa Jabatan Perhikmatan Awam (JPA) dari Pemerintah Malaysia bersama dengan 3 orang temannya.
Alumni SMA Sultan Ibrahim Girl School, Johor, Malaysia, ini menilai sistem pendidikan dokter di Indonesia dan Malaysia tidak jauh berbeda. Namun, dalam hal penanganan praktik kepada pasein, Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan Malaysia. “Di sini, praktik dengan pasien di rumah sakit jauh lebih banyak,” ujar Noor yang berminat menjadi dokter spesialis bedah kulit. (Humas UGM/Gusti Grehenson)