Situasi psikologis yang kondusif di lingkungan kelompok tidak selamanya dapat terjadi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam situasi psikologis kelompok yang kondusif, anggota kelompok mempersepsikan lingkungan tugas dalam keadaan dinamis, tenang, nyaman, damai, saling percaya, penuh kehangatan, dan terjadi interaksi yang aktif dalam relasi sosial antaranggota kelompok, khususnya dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian yang mengkaji situasi kelompok dan kepemimpinan menunjukkan terdapat perbedaan kriteria seorang pemimpin kelompok yang efektif.
Perbedaan kriteria ini, menurut Moordiningsih, S.Psi., M.Si., dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergantung pada konteks budaya masyarakat tersebut, yakni budaya kolektivis atau individualistik. Pada budaya kolektivis, pemimpin kelompok yang baik adalah individu yang dapat mendorong interaksi hubungan anggota kelompok yang positif. Ia juga dapat menciptakan situasi kelompok yang kooperatif dan kohesif. Sebaliknya, pada budaya individualistik, pemimpin yang baik adalah individu yang dapat memfokuskan pada pencapaian tujuan kelompok dan lebih menghargai prestasi anggota kelompok daripada memperhatikan dinamika kelompok.
“Situasi psikologis kelompok yang kooperatif, kohesif, dinamis, dan kondusif akan berpengaruh terhadap performansi kelompok, khususnya pada konteks budaya kolektivis,” kata Moordiningsih di Fakultas Psikologi UGM, Kamis (29/10). Pernyataan tersebut disampaikannya saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Promovenda, perempuan kelahiran Sukoharjo, 15 Desember 1974, ini mempertahankan disertasi “Pengaruh Situasi Psikologis Kelompok terhadap Performa Pengambilan Keputusan”, dengan promotor Sugiyanto, Ph.D. dan ko-promotor Prof. Dr. Faturochman serta Prof. Th. Dicky Hastjarjo, Ph.D.
Dikatakannya bahwa situasi psikologi kelompok yang tidak kondusif dapat menjadi sumber permasalahan riil dan berpengaruh pada performansi kelompok. Sebagai contoh, realitas fenomena pada level makro berupa konflik yang sering terjadi di tingkat parlemen, yaitu DPR pada 2005 lalu saat membahas lanjutan tentang kenaikkan harga minyak (BBM).
“Sempat memunculkan konflik tajam antaranggota dewan di DPR. Anggota dewan bahkan lupa dengan jas dan dasinya. Mereka seakan kembali ke habitat semula, selain mencaci, mendorong, dan saling menuding. Mereka bahkan berteriak-teriak kepada lawan yang berseberangan dengan perkataan ‘kalian kampungan’,” ujar Moordiningsih.
Istri Ir. Nanung Nur Zula, M.T. ini berpandangan bahwa selain di bidang politik, situasi psikologis yang tidak kondusif juga sering mewarnai performansi keputusan kelompok hakim di bidang hukum dan penegakan keadilan di Indonesia. Hasil penelitian memperlihatkan salah satu faktor yang memengaruhi keputusan hakim adalah faktor eksternal, yakni tekanan sosial yang dialami hakim, seperti tekanan dari pejabat, suap, pemberian uang pelicin dan ancaman.
Demikian pula di bidang pendidikan, fenomena yang cukup memprihatinkan adalah terjadinya demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tindakan agresif, berupa perusakan fasilitas belajar, tawur antarmahasiswa, dan penyerangan secara fisik. “Ini menunjukkan situasi psikologis atau atmosfer akademik yang kurang kondusif dalam menunjang performansi belajar mahasiswa di perguruan tinggi,” tambah ibu dua anak yang dalam ujian tersebut dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Oleh karena itu, lanjutnya, kinerja lingkungan perguruan tinggi masih perlu mendapat perhatian, terlebih bila melihat data evaluasi Ditjen Dikti terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Dari 2.684 perguruan tinggi di Indonesia, hanya terdapat 50 perguruan tinggi (50 promising Indonesian universities/1,86%) yang dinilai memiliki performansi baik dan kredibel dalam taraf nasional serta memiliki keinginan bekerja sama di tingkat internasional. (Humas UGM)