
Pemerintah memangkas alokasi anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026. Kebijakan pemangkasan sebesar Rp 650 triliun, turun 24,7 persen dibanding tahun 2025 yang mencapai Rp. 864 triliun, ditengarai akan berdampak pada pembangunan proyek infrastruktur di di daerah.
Guru Besar dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo, menilai kebijakan pemangkasan TKD ini dinilai sangat aneh dan beresiko besar terhadap keberlanjutan pembangunan daerah. Pasalnya target belanja RAPBN justru meningkat 17,7 persen, tetapi TKD dipangkas 24,7 persen atau setara Rp269 triliun. “Untuk program MBG terjadi peningkatan hingga lima kali lipat menjadi Rp335 triliun, tetapi subsidi ke daerah yang bisa mendorong keberlanjutan pembangunan dan menciptakan lapangan kerja justru dikurangi dalam jumlah yang sangat signifikan,” ujarnya, Senin (8/9).
Menurutnya, pemangkasan TKD yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) akan berdampak serius terhadap keberlangsungan pembangunan di berbagai daerah. Ada banyak daerah yang tidak mungkin lagi bisa meneruskan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, atau sarana telekomunikasi yang sudah dimulai. “Program penanggulangan kemiskinan pun pasti akan dikorbankan jika tidak banyak lagi yang bisa diharapkan dari TKD,” paparnya.
Lebih jauh, Wahyudi menilai kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak 2001 masih gagal. Alih-alih memperkuat kemandirian, banyak pemerintah daerah justru semakin bergantung pada dana transfer pusat. “Yang terjadi adalah fenomena flypaper-effect, ibarat lalat yang tertarik pada kertas dengan umpan sekaligus lem perekat. Dengan adanya dana perimbangan, banyak Pemda yang meningkatkan belanja, tetapi kurang berusaha menambah PAD atau sumber pendapatan mandiri lain. Rata-rata PAD terhadap APBD masih 24,18 persen,” jelasnya.
Wahyudi memprediksi dampak jangka pendek yang ditimbulkan dari pemangkasan TKD yang drastis dan tiba-tiba, menimbulkan konsekuensi politis, ekonomis, dan sosial. “Daerah yang ingin terus melanjutkan program prioritasnya pasti akan berusaha menarik PAD sebanyak mungkin. Instrumen yang paling memungkinkan adalah menaikkan PBB dan pajak-pajak daerah lainnya,” ungkapnya.
Kebijakan tersebut berisiko menimbulkan gejolak sosial jika tidak dikelola dengan baik. Ia mencontohkan, kasus demonstrasi ricuh dan pembangkangan massal seperti di Pati bisa berlanjut, terutama di daerah-daerah yang merencanakan kenaikan pajak besar-besaran seperti Banyuwangi, Cirebon, Semarang, Jeneponto, dan Bone. “Dalam situasi ekonomi yang masih suram, semakin besarnya pungutan daerah, apalagi disertai pernyataan kepala daerah yang arogan dan kurang sensitif, bisa berakibat sangat eksplosif dari segi sosial,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara