![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/2110131382339825134151243-734x510.jpg)
YOGYAKARTA – Kepala Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, Prof. Dr. Sri Suryawati mengatakan biaya obat yang dikeluarkan pasien ternyata 3-5 kali lebih mahal dari yang seharusnya. Tidak hanya itu, jumlah obat yang diresepkan pun jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Menurut Suryawati, hal itu terjadi karena ketidaktahuan pasien dan tingginya tingkat permintaan obat yang menjadi peluang pasar bagi industri obat.
Hal itu disampaikan Suryawati dalam seminar ‘Peran Strategis Apoteker Dalam Jaminan Kesehatan Nasional’ di gedung University Club, Sabtu (19/10). Seminar yang digagas fakultas Farmasi UGM ini juga menghadirkan pembicara lain, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes, Dra. Mauralinda Sitanggang, Ph.D., Apt. dan Koordinator Forum Pengurus Daerah IAI Se-Jawa Bali, Drs. Jamaludin Al Jeff., Apt.
Suryawati mengatakan, tidak hanya di Indonesia juga terjadi di belahan dunia, obat esensial kurang digunakan, sebaliknya obat non-esensial justru lebih banyak digunakan. Lebih dari itu, pasien anak dalam berobat juga tidak mendapatkan obat dengan formula yang sesuai. Oleh karena itu kegiatan yang bersifat edukasi, managerial dan regulasi yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengatur perdagangan obat dan pelayanan kesehatan di Indonesia. “Tujuan dari pengaturan ini untuk memastikan semua orang memperoleh pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa menderita kesulitan keuangan pada saat harus membayar,” katanya.
Sistem asuransi berbasis masyarakat lewat jaminan kesehatan nasional (JKN) pada 2014 menurut Suryawati seharusnya bisa mendorong penggunaan obat esensial bagi masyarakat miskin. Disamping itu, tambahnya, pemerintah juga harus meningkatkan upaya untuk memperluas sistem asuransi, agar masyarakat dapat menggunakan asuransi untuk mendapatkan resep yang lebih baik, “Dan biaya yang dikeluarkan lebih efektif dengan harga yang lebih rendah dari harga industri,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Mauralinda Sitanggang, apoteker diharapkan berperan secara aktif dalam pelayanan kesehatan JKN di setiap tingkat fasilitas kesehatan primer dan rujukan dengan melaksanakan pharmaceutical care sesuai standar. Namun demikian, dibutuhkan kompetensi apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian dan manajemen suplai obat yang efektif dan efisien, serta meningkatkan kuantitas Apoteker sehingga memenuhi Rasio Apoteker di RS, fasilitas kesehatan dan Apotek.
Dia menambahkan, apoteker dan tenaga kesehatan lain juga berperan menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu, bermanfaat dan terjangkau sesuai dengan Formularium Nasional dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan berlaku pada awal 2014, menurut Jamaludin, salah satu bentuk perlindungan sosial bidang kesehatan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang layak melalui sistem kendali budaya dan kendali mutu berdasarkan prinsip asuransi sosial berdasarkan jumlah penduduk. (Humas UGM/Gusti Grehenson)