Pembangunan industri susu nasional masih menghadapi beberapa kendala, seperti pada produksi susu maupun konsumsi susu. Produksi susu Indonesia, stagnan sejak 2008 berkisar antara 1,6 juta liter/hari, hanya tercatat dari susu sapi Friessian Holstein (FH) dan keturunannya berwarna hitam putih. Jumlah sebesar itu dikhawatirkan berkurang karena terjadinya pemotongan ternak sapi, khususnya di daerah penghasil susu seperti Boyolali yang mencapai pengurangan 36.849 sapi dan kerbau selama dua tahun, 2011-2013.
Selain itu, konsumsi susu Indonesia juga sangat rendah, hanya 11,4 kg/susu/kapita/tahun. Lebih rendah dari rata-rata negara berkembang sebesar 70 kg/kapita/tahun atau negara OECD dan Skandinavia yang di atas >240 kg/kapita/tahun.
“Pengembangan persusuan Indonesia harus diorientasikan ulang sehingga memberikan hasil yang mencerminkan pendekatan dan keberpihakan pada penyediaan gizi unggul maupun pertumbuhan populasi aneka ternak perah maupun industri susu,”papar Prof. Dr. Ir. Tridjoko Wisnu Murti, DEA., dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar bidang Ilmu Ternak Perah pada Fakultas Peternakan UGM, di Balai Senat, Selasa (22/10).
Pada pidato pengukuhannya yang berjudul Reorientasi Pembangunan Industri Susu Nasional: Menuju indonesia yang Sehat, Cerdas dan Sejahtera, Tridjoko menjelaskan susu mengandung apa pun yang dibutuhkan manusia dan mamalia muda untuk tumbuh dan berkembang. Pada umur bayi < 1 tahun, peranan air susu ibu (ASI) tidak tergantikan untuk pertumbuhan normalnya. Namun produksi puncak ASI yang berkisar antara 600-800 ml/hari, tidak lagi mencukupi kebutuhan bayi sebanyak 10% Berat Badan (BB) mulai usia 6 bulan.
“Maka, di sini peranan susu ternak yang “dimanusiakan” menjadi penting sesudah usia itu,”kata pria kelahiran Magelang itu.
Kondisi di atas tidak lepas dari adanya kendala pembangunan peternakan di Indonesia, yang meliputi; tanah, tanaman pakan, ternak, keadaan peternak dan interaksi di antaranya ditambah pemanfaatan iklim dalam satu sistem. Tridjoko mencontohkan ternak perah yang dimanfaatkan baru terbatas sapi perah dari Bos Taurus bangsa Friessian Holstein, FH tipe hitam putih dengan berat 500-700 kg, yang cenderung sangat tercekam oleh panas dan kelembaban tropika yang tinggi.
“Indonesia belum memanfaatkan bangsa sapi Bos Taurus lain seperti Jersey yang lebih tahan panas dan lebih kecil ukurannya sehingga lebih mudah ditangani peternak Indonesia,”katanya.
Untuk membangun industri susu dalam negeri, maka kebijakan pemerintah utama yang diperlukan adalah menempatkan susu sebagai pangan strategis untuk kecerdasan SDM menuju kepada ketahanan dan keberlangsungan bangsa di masa datang yang penuh kompetisi. Tridjoko mengusulkan agar kebijakan ini diimplementasikan agar pasokan susu dalam negeri diarahkan dalam jangka ke depan menuju kemandirian pokok, setidaknya 70% pasokan bagi kebutuhan susu dalam negeri.
Sedangkan dengan rendahnya produktivitas ternak perah, sistem dan manajemen budidaya ternak perah, pengabaian kondisi lingkungan dan potensi lokal dan kurangya perhatian pemerintah, maka diperlukan suatu reorientasi baru pembangunan industri persusuan di Indonesia, keluar dari kondisi tak terkoordinasi, tidak sinergis, dan kurang memperhatikan potensi serta kearifan lokal sejak hulu-hilir.
“Sistem produksi susu kompleks dan dinamis sehingga diharapkan tidak hanya menyediakan sebatas pangan, namun manfaatnya bagi kesejahteraan manusia,”tegas Tridjoko (Humas UGM/Satria AN)