Perubahan zaman, globalisasi serta kemajuan ilmu dan teknologi secara langsung maupun tidak berdampak pada kehidupan masyarakat, pandangan hidup, perilaku serta cara seseorang menyikapi sesuatu. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia memperlihatkan bahwa nilai-nilai kebangsaan mulai terkikis, misalnya semakin maraknya praktik korupsi, lunturnya rasa saling menghormati dan teposeliro.
Belum lagi kekerasan terjadi dimana-mana, konflik horizontal hingga pada menurunnya kebanggaan masyarakat dan generasi muda menggunakan produk-produk dalam negeri. Karena itu, wawasan kebangsaan serta nilai-nilai kearifan lokal sebagai suatu pandangan yang mencerminkan sikap dan kepribadian bangsa Indonesia, rasa cinta tanah air, menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan perlu dikaji dan ditemukan kembali untuk meningkatkan daya saing dan karakter bangsa.
Dalam pandangan Prof. Dr. Bambang Purwanto, MA, kearifan lokal telah direduksi sebagai representasi atas ruang sempit dari identitas komunitas etnik, sehingga “kearifan lokal nasional” atau “kearifan lokal bangsa” menjadi kosa kata yang aneh. karenanya dalam konteks Indonesia, kemerdekaan dan pembentukan sebuah negara bangsa tidak begitu saja diikuti dengan kesadaran transformatif untuk menjadikan kearifan etnik sebagai kearifan bangsa.
“Kata kearifan lokal pada dasarnya benar-benar hanya merujuk pada kearifan yang bersifat eksklusif dalam ruang terbatas, sedangkan kearifan bangsa seakan-akan tidak pernah ada, sesuatu yang tentu saja sejalan dengan kerangka berpikir konvensional”, katanya saat menjadi pembicara Seminar Nasional sekaligus launching buku Wawasan Kebangsaan dan Kearifan Lokal yang Bersatu dalam Keanekaragaman untuk Pembangunan Bangsa, di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (22/10).
Menurut Bambang Purwanto, Pancasila pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari “kearifan lokal bangsa”. Ia merupakan representasi dari kebudayaan bangsa Indonesia yang tercipta seiring dengan kesadaran kebangsaan baru bernama Indonesia. Karena itu, Pancasila bukan menjadi milik Majapahit atau milik masa lalu yang nun jauh disana, melainkan menjadi wujud kultural dari pergerakan kebangsaan ketika berhadapan dengan kolonialisme di awal abad ke-20. “Karena itu selalu berpikir dan bertindak dalam kerangka keberagaman merupakan representasi dari kearifan lokal Indonesia”, paparnya.
Buku Wawasan Kebangsaan dan Kearifan Lokal yang Bersatu dalam Keanekaragaman untuk Pembangunan Bangsa merupakan hasil karya penelitian dosen-dosen Sekolah pascasarjana UGM yang mendapat hibah pada tahun 2012. Buku ini menampilkan 30 judul penelitian meliputi 4 tema penelitian payung dan 26 tema penelitian non payung dengan menghabiskan dana 900 juta rupiah. Mengkaji buku ini dalam seminar diharapkan akan memberikan prototype yang cerdas, kaya, multiperspektif dan komprehensif yang dapat diaplikasikan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dengan ciri khas masing-masing program studi di Sekolah Pascasarjana.
Prof. Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D, Wakil Direktur Bidang Akademik, Pengembangan, dan Kerja Sama Sekolah Pascasarjana UGM menambahkan penyusunan Buku Wawasan Kebangsaan dan Kearifan Lokal yang Bersatu dalam Keanekaragaman untuk Pembangunan Bangsa melibatkan 44 mahasiswa Pascasarjana UGM. Beberapa tema seperti kearifan lokal, hukum adat, kepercayaan dan lain-lain dinilai relevan untuk pembangunan masyarakat.
“Ada 44 mahasiswa terlibat, 21 mahasiswa S2 dan 23 mahasiswa S3. Dengan buku ini diharapkan muncul sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah”, tambahnya. (Humas UGM/ Agung)