YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada kembali mewisuda 1.282 lulusan pascasarjana, terdiri 1.190 lulusan Master, 61 Spesialis dan 31 doktor. Dengan demikian, total lulusan UGM hingga saat ini mencapai 250.906 orang yang didominasi alumni program sarjana 60,75%.Lama studi rata-rata wisuda kali ini, untuk jenjang S2 adalah 2 tahun 6 bulan, jenjang spesialis 4 tahun 6 bulan, dan jenjang doktor 4 tahun 6 bulan. Lulusan studi tersingkat diraih Mohamad Rosyidin dari prodi Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, yang lulus S2 dalam waktu 1 tahun 1 bulan. Lulusan tercepat untuk jenjang spesialis diraih oleh Anak Agung Istri Putri dari prodi Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi yang lulus dalam waktu 2 tahun 11 bulan. Sedangkan masa studi tersingkat untuk jenjang S3 diraih Natelda R Trimisela dari Prodi Ilmu Pertanian yang lulus dalam waktu 2 tahun 4 bulan.
Rerata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) untuk jenjang S2 adalah 3,58, sedangkan jenjang spesialis 3,46 dan jenjang doktor 3,69. IPK tertinggi untuk program S2 adalah 4,00 yang diraih 25 orang lulusan. Dari 25 orang tersebut, peraih IPK 4,00 yang lulus tercepat diraih Arnold Christian Tabun dari prodi S2 Ilmu Peternakan. Sementara untuk jenjang spesialis, IPK tertinggi diraih Pandu Kridalaksana dari prodi Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, yang lulus dengan IPK 3,96. Sedangkan untuk jenjang S3,IPK tertinggi diraih oleh Budi Santoso dari prodi Ilmu Teknik Mesin yang lulus dengan IPK 4,00.
Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc dalam pidato sambutannya menyampaikan ucapan selamat kepada wisudawan yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di kampus UGM. Menurutnya, kesuksesan yang diraih mereka saat ini merupakan langkah awal membangun masa depan yang lebih baik. “Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dari kampus ini tidak hanya digunakan untuk mepercepat karir anda. Yang lebih penting lagi memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan Indonesia,” kata Pratikno dalam acara wisuda program pascasarjana di Grha Sabha Pramana, Kamis (24/10).
Menurut Pratikno, kontribusi lulusan perguruan tinggi sangat diperlukan dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia untuk mencapai kemandiraian pangan, energi dan obat-obatan. Bidang pangan, menurut Pratikno, sampai saat ini Indonesia belum memiliki kedaulatan pangan meski sudah sejak lama menasbihkan diri sebagai negara agararis. “Kasus di banyak negara, krisis politik dipicu oleh krisis pangan. Kondisi saat ini kita sebagai negara agraris melakukan impor pangan yang semakin memprihatinkan,” imbuhnya.
Komoditi pangan seperti beras, kedelai, bawang putih, daging, semuanya diimpor. Bahkan harganya pun kian meningkat di pasaran. “Garam pun kita impor, padahal negara ini memiliki garis pantai terpanjang di dunia,” ujarnya.
Belum mandirinya Indonesia di bidang pangan bukan perkara kurangnya tenaga ahli atau lemahnya dukungan lembaga pendidikan di bidang ilmu-ilmu pertanian. Melainkan kebijakan di bidang pangan yang dianggap Pratikno yang belum cerdas. “Konstitusi kita mengamanatkan untuk mencerdaskan bangsa. Yang dicerdaskan bukanlah individu-individu tapi juga cara negara ini dalam membuat kebijakan, itulah yang harus dibuat cerdas,” tandasnya.
Yang lebih menyedihkan, kata Pratikno, pengambilan kebijakan di bidang pangan justru diperuntukan untuk kepentingan jangka pendek yang dimanfaatkan pengusaha-pengusaha yang mengambil keuntungan dari kebijakan impor pangan tersebut. “Para pencari rente, broker, makelar, dengan mudahnya memperdagangkan kebijakan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Memperoleh cara instan keuntungan dari kebijakan impor,” katanya.
Kebijakan pembangunan di bidang pertanian, menurut Pratikno bukan semata-mata untuk menggapai kemandiri pangan. “Tapi berapa petani yang bisa disejahterakan, berapa desa yang bisa dimakmurkan,” katanya.
Kendati demikian, persoalan pangan tidak cukup diserahkan dan diselesaikan oleh bidang agrokomplek semata namun melibatkan semua pihak yang berkepentingan. “Kebijakan pangan butuh komitmen politik, intervensi fiskal, dukungan kebijakan kebudayaan, ilmu dasar dan ilmu teknik,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)