![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/25101313826857361328287744-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Fakultas Kehutanan UGM meluncurkan buku ‘Darurat Hutan Indonesia’ yang ditulis oleh 26 rimbawan. Buku setebal 590 halaman tersebut merupakan hasil kumpulan tulisan dari para praktisi, birokrat dan akademisi. Dari buku tersebut, menawarkan konsep roadmap baru pembangunan pengelolaan kehutanan Indonesia. “Pemikiran para rimbawan ini menawarkan konsep baru dalam pengelolaan hutan dengan berbagai perspektif,” kata Dekan Fakultas Kehutanan, Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Sc., dalam acara Diskusi Bedah Buku ‘Darurat Hutan Indonesia’ di ruang Auditorium Fakultas Kehutanan, Jumat (25/10). Hadir sebagai pembicara, Budayawan Mohammad Sobary, Sosiolog UGM Arie Sudjito dan Ekonom Ichsanuddin Noorsy.
Saytwayan mengatakan buku kumpulan pemikiran rimbawan tentang pembangunan kehutanan ini sengaja diluncurkan bertepatan dengan perayaan ulang tahun fakultas kehutanan UGM yang ke-50. “Pemikiran dari buku ini pula nantinya akan kita sampaikan ke calon pemimpin mendatang,” katanya.
Ichsanudin noorsy, mengapresiasi buku tulisan para rimbawan ini yang menurutnya sebagai bentuk keprihatinan mereka terhadap kebijakan pembangunan kehutanan yang lebih menguntungkan pemilik modal. “Masalahnya, pembangunan tata ruang kehutanan yang ada sekarang berorientasi komersial. Tentunya demi kepentingan pemilik modal,” katanya.
Pemilik modal lebih banyak mengambil keuntungan dari kekayaan sumber daya hutan. Sementara masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tidak meningkat kesejahteraanya. Tidak heran, konflik antara pengusaha dengan rakyat kerap berlangsung. “Hingga bulan Agustus ini, ada 279 konflik di bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan,” katanya.
Sementara Arie Sudjito, menilai kondisi kerusakan hutan lebih disebabkan makin menurunnya etika pada penjagaan ekosistem alam. Yang seharusnya bisa dikelola lebih beradab dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dampak yang ditimbulkan justru kerusakan alam. “Ini bagian dari kerusakan mental. Hutan dinikmati oleh elit, sedangkan konflik didelegasikan pada rakyat kecil,” katanya.
Istilah ‘hutan darurat’, menurut hemat Sobary, menggambarkan buruknya kebijakan pemerintah di bidang kehutanan. Untuk itu diperlukan penataan kembali pengelolaan hutan. “Memfungsikan kembali hutan sebagai ilmu, hutan sebagai seni, hutan konservasi dan hutan pengelolaan kembali,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)