![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/23101313824985571958692657-765x510.jpg)
Pengamat politik UGM, Dr. Ari Dwipayana menilai politik transaksional saat ini kian menguat. Selain politik transaksional, kehadiran kembali karakter feodalisme baru dalam ranah politik nasional atau lokal turut hadir dalam lapangan politik Indonesia. Hadirnya neofeodalisme menurut Ari sebenarnya bukan hal yang baru dan bisa ditelaah dari munculnya kegagalan eksperimentasi demokrasi liberal pada era 1950-an.
“Politik transaksional menguat seiring dengan feodalisme baru dalam ranah politik lokal maupun nasional,”kata Ari dalam diskusi Merawat Dinasti Politik? di lobi MAP Fisipol UGM, Selasa (29/10) sore.
Ari menambahkan tradisi politik feodalisme bisa dilihat dari hadirnya politik patronase di tubuh parpol, pemunculan dinasti dalam politik lokal ataupun proses electoral di daerah, gejala putra mahkota, sampai gagasan Ani Yudhoyono-Puan Maharani menjadi kandidat presiden dan wakil presiden oleh elit partai Demokrat.
Beberapa ciri dari politik feodalisme, yaitu pemimpin ditempatkan sebagai patron yang dipuja dan memiliki segalanya, tidak ada pemisahan yang tegas antara yang personal dan yang publik serta oposisi terhadap sang patron adalah pembangkangan.
“Oposisi dianggap bukan penyeimbang dalam bertindak, melainkan ekspresi paling nyata dari ketidakpatuhan,”katanya.
Dalam tradisi feodalisme restu atau legitimasi sang patron menjadi sangat penting. Siapa yang direstui oleh patron menjadi penerusnya akan punya bobot penerimaan yang sangat kuat di lingkaran elite. Dalam tradisi kekuasaan proses regenerasi politik biasanya tidak pernah berjalan jauh dan hanya di lingkaran kecil keluarga inti.
Politik pewarisan bisa ditemukan pada proses ketergantungan elite politik akan kehadiran patron atau pewarisnya. Politik pewarisan ini bisa sedemikian kuat karena elite semacam memiliki mitos bahwa pewaris punya kualitas yang sama dengan figur yang diwarisinya. Namun, bisa jadi hal itu merupakan strategi elite untuk mencari bentuk-bentuk koeksistensi damai.
“Regenerasi politik jangan sampai mengganggu keseimbangan dalam rivalitas antarelite,”papar dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
Hadirnya gejala feodalisme baru dalam politik Indonesia ini mengingatkan pentingnya melihat kembali proses demokratisasi. Artinya proses demokratisasi harus memungkinkan transformasi dari kultur ‘kawula’ atau klien menjadi kultur warga negara. Demokratisasi dimaknai sebagai transformasi budaya untuk melawan nilai-nilai feodalisme dan berbagai manifestasinya. “Tanpa semangat itu artinya kita sedang berada dalam Kerajaan Republik Indonesia,”pungkas Ari (Humas UGM/Satria AN)